‘Kawan Forum’ kami, Lian Gogali, merupakan pendiri dan ketua Institut Mosintuwu, sebuah organisasi komunitas akar rumput di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, Indonesia. Selama beberapa tahun belakangan, Institut Mosintuwu secara aktif menginisiasi dan mengelola berbagai festival, seperti Festival Mosintuwu yang telah dimulai sejak 2015. Mereka percaya bahwa wilayah pedesaan selalu membutuhkan ruang untuk bertemu dan belajar bersama. Selama ini, penyelenggaraan festival ini tidak hanya menjadi ruang untuk mengakomodasi pertemuan dan proses belajar, tetapi lebih jauh: merayakan keberagaman budaya di Poso.
Selama masa pandemi Covid-19, nyaris mustahil bagi Institut Mosintuwu untuk menyelenggarakan program festival seperti biasanya. Untuk merespons situasi tersebut, pada 2021 mereka menginisiasi festival daring, yakni Festival Molaolita menggunakan medium radio komunitas Mosintuwu dan fitur Instagram Live. Molaolita atau mendongeng merupakan tradisi lisan dalam masyarakat Poso. Ada beberapa bentuk mendongeng, di antaranya dengan menyanyi atau membacakan dongeng secara lisan, yang disebut sebagai Mobolingoni. Saat ini, kebiasaan Mobolingoni sudah jarang ditemukan dan dipraktikan dalam masyarakat Poso. Mulai hilangnya budaya Mobolingoni menjadi fenomena yang mengkhawatirkan, apalagi praktik mendongeng merupakan perangkat penting bagi masyarakat Poso yang telah digunakan secara turun temurun dalam menjelaskan fenomena ekologi dan hubungannya dengan manusia.
Dengan semangat mempreservasi pengetahuan dan tradisi lokal, Institut Mosintuwu menghelat Festival Molaolita pada 29 Oktober hingga 14 November 2021, diselenggarakan sebagai bagian program ‘Kawan Forum’. Dalam acara ini, Institut Mosintuwu mengundang 29 pendongeng dari 13 desa. Para pendongeng ini berusia dari 7 hingga 75 tahun. Dalam salah satu kisah, ada cerita tentang sebuah desa di Bancea yang bergetar hebat akibat diguyur hujan lebat usai warga desa menertawakan seekor katak. Seorang geolog kemudian menemukan bahwa cerita rakyat ini sebetulnya memiliki keterhubungan dengan gempa bumi besar (atau di Poso lebih familiar disebut tanah goyang) yang membelah desa tersebut karena terletak tepat di garis patahan.
Menukil pernyataan Lian Gogali, “mendongeng bukan hanya untuk menjaga tradisi masyarakat, tapi juga sebuah ruang untuk menjaga ingatan atas sebuah peristiwa yang pernah terjadi sehingga kita menjadi lebih mawas dan bijak merancang pembangunan”.
Di bawah ini adalah dokumentasi dari Festival Molaolita.
View this post on Instagram
View this post on Instagram
View this post on Instagram