The World is Our Household! ≥ Tulisan ≥ Menanam pisang, memupuk tantang, menuai halang: Cerita dari Selasih

Menanam pisang, memupuk tantang, menuai halang: Cerita dari Selasih

Simpan:
PDF

Unduh di sini:

Teks Oktaria Asmarani

 

 

Anjangsana dengan tanah Selasih adalah selaiknya perjumpaan pertama saya dengannya. Pertemuan tersebut adalah ihwal menyua bumi dengan pohon-pohon pisang.

Jalan utama Dusun Selasih. Foto oleh Oktaria Asmarani, 2021.

 

Pepohonan itu berdiri tegak dan kebanyakan di antaranya begitu rapat; seolah berbaris, seperti ingin melindungi sesuatu. Mereka ada di mana-mana, mata saya hampir selalu menemukannya. Saya laju perlahan skuter matik saya, berjalan turun, lalu naik, berliku. Selasih begitu sunyi dan hijau.

Bertani merupakan mata pencaharian utama bagi sekitar delapan puluh persen masyarakat di Selasih, sebuah dusun yang termasuk dalam wilayah Desa Puhu, Kecamatan Payangan, Kabupaten Gianyar, Bali. Selasih berlokasi di kawasan tebing dan berada di garis sungai yang sama yang digunakan sejumlah akomodasi ternama di daerah Ubud dan Payangan. Dusun dengan luas lebih dari 300 hektar tersebut dihuni sekitar 1200 jiwa.

Sebagian besar area perkebunan Dusun Selasih ditanami pisang batu atau pisang klutuk (Musa balbisiana Colla), yakni jenis tanaman pisang yang buahnya memiliki banyak biji. Buah pisang batu bukanlah bagian utama yang dimanfaatkan dari tanaman ini, sebab ia digunakan sebagai pakan ternak. Bagian tanaman pisang batu yang digunakan sebagai bahan pangan hanyalah jantung dan batangnya saja. Di luar daripada itu, sesungguhnya tanaman pisang batu justru paling banyak dimanfaatkan daunnya. Daun pisang krusial bagi masyarakat Hindu Bali, sebab daun adalah salah satu elemen penting di sesajen dan sarana persembahyangan. Selain itu, daun pisang juga biasa digunakan untuk membungkus aneka panganan khas Bali seperti nasi jinggo dan berbagai jajanan tradisional. Semenjak Peraturan Gubernur Nomor 97 Tahun 2018 Tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai diundangkan, daun pisang semakin jadi primadona. Ia kini juga dicari untuk menggantikan fungsi plastik sekali pakai di berbagai kesempatan.

Penggunaan daun pisang batu yang tidak mengenal musim menjadikan jumlah permintaannya stabil di pasaran. Kondisi ini tentu merupakan keunggulan yang membuat komoditas pisang batu bersaing dengan jenis pisang lainnya. Permintaan stabil menjadikan harga yang cenderung stabil pula, dan ini tentu berimbas pada pendapatan para petani pisang Selasih. Tak heran bila banyak masyarakat Dusun Selasih menggantungkan hidupnya dari kebun pisang batu mereka. Pisang batu membawa harmoni untuk alam: kesuburan tanah dan terjaganya lahan, serta penghidupan bagi manusia. Namun, jika dongeng paling indah pun tak pernah berjalan mulus, begitu pula kenyataan hidup di Dusun Selasih.

 

Kebun Pisang Jadi Rebutan

Kedatangan pertama saya satu setengah tahun lalu di Selasih didorong oleh “kegaduhan” yang terjadi di linimasa media sosial saya pada akhir November 2019. Saat itu, beredar foto-foto yang menunjukkan ibu-ibu yang hanya menggunakan kutang. Mereka terlihat begitu marah di hadapan sejumlah aparat berseragam polisi, di antara para lelaki. Para ibu-ibu ini merupakan petani Selasih yang menantang alat berat yang muncul kembali di lahan garapan mereka, setelah dua puluh tahun tidak berkabar.

Kabar tentang keberanian ibu-ibu Selasih mendapat sorotan dari berbagai media di Bali, bahkan nasional. Dalam sebuah berita yang diterbitkan di Tirto.id (2019), dijelaskan bahwa pada 19 November 2019, dua ekskavator berusaha memasuki lahan perkebunan warga Selasih walaupun sebelumnya telah dihadang oleh warga yang tergabung dalam Serikat Petani Selasih (SPS). Keesokan harinya, ekskavator masih berusaha masuk, kali itu bersama kawalan aparat kepolisian. Hal itu juga dilakukan pada tiga hari setelahnya, bahkan dengan kawalan kepolisian yang berjumlah 300-400 personel.

Ekskavator tersebut adalah alat milik PT. Ubud Resort Duta Development (URDD) yang datang dalam rangka pembersihan lahan. Lahan garapan masyarakat Selasih yang subur ditanami pohon pisang yang berdiri rapat itu memang telah dikuasai URDD sebagai investor. Tak tanggung-tanggung, hampir 200 hektar lahan akan disulap menjadi resor mewah dengan lapangan golf. Di balik rapatnya pohon-pohon pisang itu, terbaring batang-batang lainnya yang tak berdaya, tak terkecuali anakannya yang mungkin sesungguhnya tak sabar untuk tumbuh dan menjelang hari-hari di depan.

Tentu ini bukan hal baru bagi masyarakat Bali; tanah subur dan sumber mata air yang dikelilingi panorama alam adalah eksotisme yang dikejar pariwisata. Pada rentang akhir 1980 hingga 1990-an, terjadi kasus-kasus besar perampasan tanah dengan dalih pariwisata, seperti Garuda Wisnu Kencana (GWK), Bali Nirwana Resort (BNR), Pecatu Graha, reklamasi Pulau Serangan, reklamasi Padang Galak, dan lain-lain. Selasih adalah salah satu di antaranya.

Pohon-pohon pisang yang tumbuh lalu rata dengan tanah. Foto oleh Oktaria Asmarani, 2019.

 

Beberapa petani yang saya temui mengaku mengetahui bahwa pihak perusahaan memasuki Selasih pada awal dekade 1990 dengan klaim bahwa 85% tanah di sana tidak produktif. Dengan begitu, lahan tersebut lebih baik dimanfaatkan untuk sektor di luar pertanian atau perkebunan. Sejak saat itu, pembebasan lahan pun mulai dilakukan.

“Padahal sejak dulu kami biasa menanam padi, jeruk, salak, durian, bahkan cengkeh,” jelas Made Sudiantara, salah satu petani Selasih.1 Menariknya, pisang batu justru baru mulai ditanam dan menjadi varietas unggulan yang dihasilkan oleh petani Selasih pada masa krisis moneter 1997-1998 yang merupakan masa krisis air bagi dusun ini.

Hasil pembacaan Made Supriatma (2019) dalam tulisannya di Harian IndoPROGRESS menjelaskan bahwa pembebasan lahan seluas 200 hektar (65% dari luas Selasih) sudah dilakukan sejak 1992. Upaya pembebasan tersebut disertai serangkaian intimidasi yang tentu juga membuat para petani menolak dan melawan. Mereka sempat berdemonstrasi ke Kantor Camat Ubud pada Juni 1993, sebagai bentuk penolakan mereka untuk menjual tanah. Namun, tak sedikit pula yang akhirnya juga melepaskan tanahnya dengan berat hati, dikarenakan tanah di sekitar mereka satu per satu dijual, tentu dengan gertakan dari pihak investor. Situasi yang mencekam inilah yang menjadikan para petani enggan untuk buka mulut terkait urusan sengketa tanah, bahkan hingga saat ini.

Selain dibeli secara langsung dari para pemiliknya, pihak investor juga membebaskan lahan-lahan garapan petani Selasih yang secara administratif dimiliki oleh Puri Payangan, sebuah kerajaan yang dulu menguasai daerah Payangan. Pihak puri memegang sertifikat tanah, sementara para penyakap mengerjakan lahan tersebut, tentu dengan tetap membayar upeti pada pihak puri (setidaknya ketika zaman kerajaan masih berlangsung). Para penyakap inilah yang justru bernasib paling apes, sebab selain menghidupkan tanah dan juga hidup darinya, mereka justru harus bersiap digusur tanpa sedikitpun terlibat dalam keputusan apapun. Padahal, dalam sejarahnya, para penggarap tanah yang dimiliki Puri Payangan tersebut adalah keturunan dari para petani yang mula-mulanya membuka, menggarap, dan memelihara tanah tersebut dengan susah payah

Tanpa menihilkan fakta bahwa sebagian tanah sengketa tersebut memang bukan milik petani secara yuridis, saya tetap sepakat dengan pernyataan Supriatma bahwa dalam menanggapi kasus perampasan tanah, adalah penting bagi kita untuk “melihat narasi-narasi terkait status tanah sengketa dan menyesuaikannya dengan status petani sebagai warga yang berdaulat atas tanah yang dikerjakannya sebagai sumber penghidupannya itu.”2

Tanah bukan cuma perkara secarik sertifikat; ada sejarah dan konteks yang mengikat ragam dimensi yang melingkupinya. Alangkah mengerikannya mengetahui bahwa kita dapat dengan mudah mengesampingkan narasi dari pihak petani dan penyakap. Betapa mudahnya kita mencabut diri dari asal-usul tanah saudara kita, tanah kita.

 

Mencari Suara Perempuan Selasih

Mendung masih melingkupi separuh Selasih. Skuter matik saya laju dengan kehati-hatian penuh. Saya sudah memasuki daerah terlarang; plang yang seharusnya menjadi tanda untuk saya berbalik kiblat justru malah saya lewati begitu saja. Saya merasa perlu berjaga-jaga jika tiba-tiba dihadang oleh aparat berseragam, mengingat seorang aparat mengikuti kemanapun saya dan kawan-kawan pergi saat lawatan pertama saya ke Selasih. Kabarnya, jumlah petugas pengamanan dari pihak investor memang terus bertambah dan tetap mengawasi gerak-gerik masyarakat, membuat mereka semakin waswas dalam keseharian.

 

Tanah penuh pohon pisang, milik investor. Foto oleh Oktaria Asmarani, 2021.

    

Sepi. Hanya dedaunan yang bersemilir angin. Pohon-pohon pisang masih berdiri tegak rapat, beberapa sudah rubuh. Sawah masih basah. Dari kejauhan saya melihat beberapa pohon kayu. Saya melewati seorang perempuan paruh baya yang sedang menyiangi gulma dengan telaten. Satu lagi, di lahan yang berjarak tak lebih dari setengah kilometer, perempuan berjongkok dan terlihat sibuk dengan tanaman di depannya.

Di tengah kesunyian, perempuan masih merawat. Di tengah kegaduhan, perempuan tetap mengasuh. Namun ada satu hal lain yang perlu kita ingat: perempuan sejatinya lebih dari itu.

Made Liu, seorang petani pisang, mengaku hanya menjadi pemirsa ketika satu per satu pohon pisangnya dibabat habis di depan mata. “Kan sing runguanga munyin tiangé (kan ucapan saya tidak didengarkan),” ujarnya pada saya.3 Ibarat lakon, Liu dan perempuan petani Selasih lainnya tampil dan bersuara, tetapi bukan sebagai pemeran utama.

Dalam artikel berjudul “Women’s Access to Land: An Asian Perspective”, Nitya Rao (2011) menjelaskan setidaknya 45% perempuan yang aktif bekerja di Asia Tenggara bergerak di bidang pertanian, terlepas dari apakah mereka berhak atas lahan yang mereka kerjakan. Para perempuan mempertahankan kontrol dengan kerja-kerja pertanian yang mereka lakukan dan juga menyediakan jaring pengaman untuk usaha laki-laki yang lebih berisiko.

Tidak kalah dengan laki-laki petani, para perempuan petani banyak bekerja keras di lahan garapan. Ini adalah fakta klasik yang sepertinya dapat ditemukan di mana pun. Perempuan petani Selasih mempersiapkan tanah, menanam dan merawat pohon-pohon pisang hingga dewasa dan bertumbuh sehat, mengambil daunnya, mengikat dan menghitungnya, lalu menjualnya ke pasar-pasar di Denpasar yang berjarak lebih dari 30 kilometer dari rumah mereka saban hari. Belum lagi ragam upacara Hindu-Bali untuk memuliakan tumbuhan, adalah perempuan yang berperan banyak di dalamnya. Kita bahkan belum menghitung kerja-kerja domestik yang dilakukan para perempuan ini: mengurus suami, anak, rumah tangga, dan adat.

Seorang petani mengikat daun pisang untuk dijual. Foto oleh Oktaria Asmarani, 2019.

 

Betapa melelahkannya menjadi perempuan Selasih, perempuan Bali. Betapa banyak yang harus dipikul hingga para perempuan terlanjur menganggap pengalamannya sebagai sesuatu yang terberi dan tidak bisa digugat. Saya pikir, kesadaran kritis kolektif bahwa ada sesuatu yang bersembunyi di balik pengalaman yang kadung diterima begitu saja ini belum banyak terbentuk di Bali. Jangankan bergerak, untuk mulai menyadari kesalahan ini saja sepertinya sulit untuk dilakukan para perempuan Bali. Sebab waktu sudah duluan habis untuk mengerjakan seabrek pekerjaan yang kerap tak dianggap sebagai pekerjaan.

Terlepas dari banyaknya pekerjaan yang mereka lakukan, layaknya perempuan Bali pada umumnya, perempuan Selasih tidak memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk bersuara, apalagi mengambil keputusan, dalam berbagai paruman atau rapat-rapat terkait hajat hidup orang banyak. Dalam beberapa rapat serta mediasi yang dilakukan antara para petani dan pihak investor, tidak terlihat keberadaan seorang pun perempuan di arena rapat. Hal yang lebih lazim dalam pertemuan warga di Bali adalah kehadiran perempuan yang bertugas sebagai pelengkap, untuk menyiapkan penganan, misalnya.

Menurut Nitish Jha (2004), kebebasan dalam pengambilan keputusan yang akan mempengaruhi kesejahteraan suatu kelompok lekat dengan partisipasi. Pengambilan keputusan (decision making) menempati puncak dari hierarki tugas karena ia memerlukan pertimbangan dari tugas-tugas lainnya: bagaimana ia dijadwalkan, siapa yang akan mengerjakan, sumber daya apa yang harus dikerahkan, dan lain-lain. Pengambilan keputusan secara partisipatoris adalah elemen pemerintahan yang demokratis dan kemampuan untuk ikut serta di dalamnya, di luar lingkup rumah tangga, adalah penjamin dari hadirnya kesejahteraan.

Perempuan bukanlah subjek aktif untuk pengambilan keputusan kolektif di ranah pertanian Bali, termasuk di Selasih. Dalam skala domestik maupun publik, perempuan secara sadar tidak sadar, mau tidak mau, suka tidak suka, tunduk kepada otoritas laki-laki. Keikutsertaannya dalam berbagai kerja pertanian tidak menjadi alasan yang cukup kuat untuk menjadikan perempuan sebagai substitusi laki-laki dalam rapat-rapat pengambilan keputusan penting. Padahal, kedekatan dan pengalamannya dengan tanah justru seharusnya menjadikan perempuan sebagai ujung tombak pengambilan keputusan terkait tanah itu sendiri.

Maria Mies dan Vandana Shiva (2014) memang benar adanya. Penindasan sistemik laki-laki terhadap perempuan betul berkaitan dengan eksploitasi besar-besaran manusia terhadap alam, terhadap Bumi. Alam adalah sesuatu yang dibenarkan eksploitasinya oleh sistem kapitalis-patriarkis, begitu pula eksploitasi terhadap kehidupan yang diciptakan perempuan. Pun keduanya dianggap tak (boleh) memiliki kuasa atas apapun.

Corak patriarkal yang kental dalam keluarga Bali menjadikan laki-laki sebagai kepala keluarga dan secara otomatis berpengaruh kepada kepemilikan aset keluarga, salah satunya tanah. Dalam hal ini, perempuan seringkali direduksi nilainya hanya sebagai istri dan/atau ibu, bukan pemilik kontrol atas tanah yang sehari-hari mereka kerjakan. Tanah dan apapun hal-hal terkaitnya yang membutuhkan keputusan adalah urusan laki-laki. Perempuan tunduk, terlepas dari sedekat apapun mereka dengan tanah yang mereka pelihara, sumber dari segala sumber penopang hidup mereka dan keluarganya.

Apa yang terjadi di Selasih memperlihatkan bahwa atap kaca itu masih kokoh memayungi bumi Bali. Saya jadi teringat bagaimana dalam pemikiran dikotomis ala Filsafat Barat, perempuan kerap dilekatkan dengan kategori alam (nature) dan dijauhkan dari kategori budaya (culture) karena fisiologis dan kerja-kerja mereka yang dekat dan diidentikkan dengan alam. Hal ini dapat menjebak perempuan dalam esensialisme, tapi juga bisa menjadi kekuatan mereka untuk bergerak (walaupun tentu segala dikotomi ini mesti dikritisi). Sebagaimana dikatakan Sherry Ortner (1974), perempuan justru menjadi jembatan karena ia berada di dua ranah sekaligus, natur dan kultur. Mereka memang dekat dengan alam di keseharian, tetapi mereka juga berkesadaran terhadap apa yang mereka garap dan perjuangkan: tanah dan alam untuk keberlangsungan hidup anak-cucu, serta makhluk hidup lainnya. Ini adalah senjata yang tak disadari.

Keberanian untuk melepas atasan yang menutupi tubuh ketika berhadapan dengan aparat dan alat berat adalah manifestasi puncak kekecewaan perempuan Selasih; kulminasi amarah yang tidak bisa lagi dipendam. Terbiasa untuk tidak tampil sebagai pemeran utama, mereka lalu bernyali untuk berada di baris terdepan, walaupun malu juga harus mereka telan mentah-mentah. Apapun dilakukan demi tanah yang menghidupi mereka, walau kenyataannya mereka mesti membiarkan diri tetap menjadi subordinat dari laki-laki.

 

Belajar dari Bawah

Dalam bukunya, Derek Hall, Philip Hirsch, dan Tania Murray Li (2011) menyebut bahwa proses deagrarianisasi (deagrarianization) telah terjadi sejak tahun 1980-an di Asia Tenggara. Deagrarianisasi adalah proses di mana pertanian menjadi kian tak penting bagi ekonomi nasional, bahkan untuk mata pencaharian orang-orang bahkan di daerah pedesaan. Pariwisata adalah kekuatan pendorong terbesar kedua untuk konversi lahan pertanian dalam skala besar. Konversi ini juga ditunjukkan dengan adanya intimidasi dan kekerasan yang salah satunya dilakukan oleh militer dan polisi yang bekerja untuk kepentingan negara dan swasta. Konflik yang terjadi di Selasih memperlihatkan semua ini dengan begitu jelas.

Berselang sekitar dua bulan dari peristiwa penghadangan alat berat di Selasih, sebuah berita tentang konflik ini muncul di sebuah portal berita daring. Kepala Desa Adat (Bendesa Adat) Selasih menegaskan bahwa konflik yang terjadi tidak melibatkan pihak desa adat. Justru, ia merasa dirugikan karena konflik ini menghambat segera terwujudnya investasi di wilayahnya. Situasi ini kini menjadi konflik horizontal antarwarga. Kerukunan diam-diam menyelinap keluar dari bumi Selasih, pelan-pelan meninggalkan masyarakatnya dalam perang dingin.

Sebagian warga berhasil didekati pihak investor, sementara beberapa lainnya masih bertahan dengan konsekuensi yang juga tak mudah: berselisih dengan sesama saudara yang berbeda pendapat, perasaan berdebar karena terus diawasi, dan tentu terjun bebasnya penghasilan untuk keluarga. Beberapa petani yang merasa bahwa lahan mereka layak untuk diperjuangkan kemudian membentuk SPS. Tercatat sebanyak 52 kepala keluarga terdaftar sebagai anggota SPS dan 32 di antaranya bermukim di lahan yang diklaim pihak investor.

Salah satu kesepakatan dalam mediasi antara SPS dan investor pada November 2019 lalu menyatakan bahwa para petani masih diizinkan untuk memanfaatkan tanah garapan di wilayah HGB sepanjang belum dibangun. Walaupun begitu, SPS masih berharap pada realisasi Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar serta Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria. “Saya cuma mau apa yang dimiliki leluhur saya tetap di sini dan seperti ini,” tegas Gede Nova, seorang petani muda Selasih.4

Pariwisata menawarkan hal yang tidak sedikit, bahkan PT. URDD pun telah berjanji bahwa para petani akan diserap sebagai tenaga kerja sesuai dengan keahlian masing-masing ketika bangunan mulai beroperasi. Akan tetapi, sebagian petani dan penyakap masih tetap bersikeras mempertahankan lahannya. Mereka hanya menginginkan keberlanjutan penghidupan dari tanah yang mereka tinggali sejak empat generasi lalu.

Hal ini mengingatkan saya pada perspektif subsisten (subsistence perspective) yang diajukan oleh Maria Mies dan Veronika Bennholdt-Thomsen (1999). Perspektif subsisten dapat dijadikan cara pandang alternatif yang bisa kita gunakan untuk memikirkan format masa depan, berpijak dari situasi Selasih yang saya yakini bukan merupakan yang pertama dan satu-satunya di dunia yang bajingan ini.

Perspektif subsisten menghargai pandangan “dari bawah”, dari apa yang dibutuhkan. Perspektif ini memperbolehkan orang-orang untuk memproduksi dan mereproduksi kehidupan mereka, untuk berdiri dengan kaki sendiri, untuk mampu menyuarakan suaranya. Melihat realita keseharian yang terjadi di masyarakat akar rumput dengan sebenar-benarnya akan membantu kita untuk mendemistifikasi delusi yang diciptakan oleh mereka yang ada “di atas”. Bahwa hidup yang sahaja adalah hidup yang mungkin bagi kaum minoritas, utamanya alam, “yang lain”, perempuan, dan anak-anak.

Pemahaman terkait subsistensi membutuhkan orang-orang, utamanya perempuan, untuk berhenti mendevaluasi dirinya, baik kerjanya, kebudayaannya, bahkan dayanya. Tanpa berharap pada kehidupan layak yang diberikan kepada mereka dari atas, perempuan sesungguhnya bisa tetap hidup, melihat bagaimana kedekatan mereka dengan alam dapat membantu mereka untuk sintas.

Ibu-ibu Dusun Selasih berteduh sambil berbincang. Foto oleh Oktaria Asmarani, 2019.

 

Pandangan dari bawah dapat membantu kita untuk menilik kembali arti sesungguhnya dari hidup yang baik, juga di mana sumber pemberdayaan dapat ditemukan. Sebab keberdayaan hanya dapat ditemukan di dalam diri sendiri, melalui kerjasama dengan alam yang berada di dalam diri sekaligus sekitar diri kita. Betapa buana alit dan buana agung sejatinya saling terhubung begitu erat.5 Dan saya pikir, manusia-manusia Bali seyogianya tak ingkar dengan filosofi ini.

Beranjak pergi dari Selasih, saya cuma berharap anjangsana berikutnya tetap mempertemukan saya dengan pohon-pohon pisang yang berdiri rapat, melindungi siapapun yang memeliharanya. Semoga.

 

 

 

 

 

 

Catatan akhir:

1 Kutipan diambil dari wawancara penulis dengan Made Sudiantara pada 8 Desember 2019 di Selasih.

2 Lihat Supriatma, Made, “Selasih: Cerita Perampasan Tanah Yang Tak Pernah Usai” (2019).

3 Kutipan diambil dari wawancara penulis dengan Made Liu pada 8 Desember 2019 di Selasih.

4 Kutipan diambil dari wawancara penulis dengan Gede Nova pada 8 Desember 2019 di Selasih.

5 Dalam sistem kepercayaan Hindu, terdapat istilah Panca Maha Bhuta yang secara harfiah berarti lima elemen utama. Elemen-elemen ini adalah unsur yang menyusun alam semesta (makrokosmos) yang disebut sebagai bhuana agung. Elemen yang sama juga menyusun semesta tubuh manusia (mikrokosmos), yang disebut sebagai bhuana alit. Lima elemen ini adalah Pertiwi (unsur padat), Apah (unsur cair), Teja (unsur cahaya/api), Bayu (unsur angin), dan Akasa (unsur ruang). Kehadiran kelima elemen ini dalam makrokosmos dan mikrokosmos saling berhubungan dan mereka menciptakan satu kesatuan bersama. Ini mengajarkan manusia untuk menghormati alam sebagaimana mereka menghormati tubuh mereka dan sebaliknya.

 

Tentang penulis:

Oktaria Asmarani sehari-hari bekerja sebagai manajer proyek di sebuah LSM yang bergerak di bidang lingkungan hidup, Yayasan Bumi Sasmaya, Ubud. Ia lulus dari Jurusan Ilmu Filsafat Universitas Gadjah Mada lalu kembali ke tanah kelahirannya, Bali, untuk tetap menulis sembari mempelajari kembali persoalan terkait perempuan dan lingkungan, dalam irisannya dengan filsafat feminis, budaya, serta politik. Surel untuknya dapat dilayangkan ke oasmarani@gmail.com.

 

Referensi dan bacaan lebih lanjut:

(1) Asmarani, O. (2019, 16 Desember). Ketika Pisang Terakhir Ditebang. Balebengong.id. Diakses di https://balebengong.id/ketika-pisang-terakhir-ditebang/.

(2) Bernie, M. (2019, 24 November). Kronologi Petani Gianyar Tolak Eksekusi Lahan Perkebunan PT URDD. Tirto.id. Diakses di https://tirto.id/kronologi-petani-gianyar-tolak-eksekusi-lahan-perkebunan-pt-urdd-emd4

(3) Hall, D., Hirsch, P., & Li, T.M. (2011). Powers of Exclusion: Land Dilemmas in Southeast Asia. Honolulu: University of Hawai’i Press.

(4) Jacobs, S. (2013). Gender, Land and Sexuality: Exploring Connections. International Journal of Politics, Culture, and Society, 27(2), 173–190. doi:10.1007/s10767-013-9156-5

(5) Jha, N. (2004). Gender and Decision Making in Balinese Agriculture. American Ethnologist, 31(4), 552–572. doi:10.1525/ae.2004.31.4.552

(6) Mies, M., & Shiva, V. (2014). Ecofeminism. London: Zed Books.

(7) Mies, M., & Bennholdt-Thomsen, V. (1999). The Subsistence Perspective: Beyond the Globalised Economy. London: Zed Books.

(8) Ortner, S.B. (1972). Is Female to Male as Nature Is to Culture? Feminist Studies, 1(2), 5-31. doi:10.2307/3177638

(9) Supriatma, M. (2019, 9 Desember). Selasih: Cerita Perampasan Tanah Yang Tak Pernah Usai. Indoprogress.com. Diakses di https://indoprogress.com/2019/12/selasih-cerita-perampasan-tanah-yang-tak-pernah-usai/#_edn1

(10) Rao, N. (2011, 30 September). Women’s Access To Land: An Asian Perspective. UN.org. Diakses di www.un.org/womenwatch/daw/csw/csw56/egm/Rao-EP-3-EGM-RW-30Sep-2011.pdf

(11) Suriyani, L.D. (2019, 5 Desember). Aksi Petani Pisang Mempertahankan Lahan Garapannya [1].” Mongabay.co.id. Diakses di https://www.mongabay.co.id/2019/12/05/aksi-petani-pisang-mempertahankan-lahan-garapannya/

 

© 2021 penulis

 

 

 

 

 

 

 

 

Baca tulisan lain dari program ini di website kami: https://strugglesforsovereignty.net/the-world-is-our-household/writing/