The World is Our Household! ≥ Tulisan ≥ Keadilan untuk Semua: Perspektif masyarakat adat dari teras perkebunan kelapa sawit di Papua Barat

Keadilan untuk Semua: Perspektif masyarakat adat dari teras perkebunan kelapa sawit di Papua Barat

Simpan:
PDF

Unduh di sini:
Keadilan untuk Semua
 
Di sepanjang dekade terakhir, masyarakat adat Marind yang mendiami kabupaten Merauke di Papua Barat telah menyaksikan pembabatan lahan dan hutan besar-besaran yang disasar sebagai pengalihan perkebunan tunggal kelapa sawit.(1) Ekspansi ini dimotori oleh cita-cita ketahanan pangan nasional dan lonjakan permintaan global atas minyak sawit sebagai sumber pangan dan bahan bakar. Meskipun demikian, faktanya, pesatnya minyak sawit mengancam lingkungan sebagai sumber pangan hutan tradisional masyarakat adat Marind berasal – sagu, kasuwari, babi, kuskus dan sebagainya. Transformasi lingkungan di Merauke semakin memperkuat tingginya nilai luhur dalam hal hubungan-hubungan karib dan leluhur orang-orang Marind dengan tanaman dan binatang hutan, yang mereka anggap sebagai saudara dan berhubungan sedarah dari roh-roh leluhur, atau yang disebut dema.

Berpijak pada riset lapangan etnografis yang panjang, penjajakan etnografis singkat ini mempertanyakan: bagaimana kosmologi orang-orang Marind menentukan cara-cara mereka mengkonsepsikan dan memberlakukan keadilan pangan? Bagaimana keadilan pangan kemudian bersimpangan dengan modalitas ke(tidak)adilan – sosial, lingkungan, hubungan antar generasi dan multispesies? Dan bagaimana pemahaman keadilan dalam masyarakat Marind yang membuka sebuah ‘keadilan untuk semua’ itu sendiri sebagai praktik tersituasikan dan konstruk budaya?

Anak-anak Marind di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua.

Layaknya banyak tempat-tempat lain di Indonesia dan wilayah tropis pada umumnya, ekspansi kelapa sawit di Merauke adalah sebuah motor utama atas deforestasi dan kepunahan keragaman hayati. Gangguan lingkungan ini kemudian mengikis kesejahteraan hidup orang-orang Marind yang menjadikan sumber pangan utama mereka dari berburu, memancing, dan hasil panen di hutan-hutan asli, savana, dan rawa-rawa. Tingkat malnutrisi, populasi balita pendek dan kurus (stunting) melambung di wilayah tersebut, karena pembukaan lahan perkebunan-perkebunan yang melonjak, menunjukan dampak yang mengkhawatirkan pada bayi-bayi, balita dan anak-anak. Orang-orang Marind semakin mengkonsumsi komoditas impor, makanan olahan seperti nasi, mie instan, dan biskuit, yang disalurkan oleh perusahaan-perusahaan agribisnis sebagai bagian dari paket kesejahteraan sosial atau dibeli oleh warga di warung-warung terdekat dengan kompensasi atas lahan yang direlakan untuk perkembangan minyak sawit(2) – daripada mengkonsumsi pangan yang bernilai dan dekat secara budaya seperti tepung sagu yang berasal dari pohon sagu.(3) Meskipun begitu, orang-orang Marind sering kali menyebut komoditas-komoditas impor tersebut tidak memiliki rasa, bumbu dan nutrisi. Pemandu saya mengatakan bahwa makanan-makanan ini berasal dari tempat-tempat tanpa tuan, jauh dan dibuat oleh orang-orang asing yang tidak dikenali oleh orang-orang Marind. Dan berbeda dengan pangan hutan, komoditas-komoditas ini tidak berasal dari tanaman dan binatang yang menjaga hubungan persaudaraan dan kasih dengan orang-orang Marind. Sebagaimana tukas Mina, salah satu teman saya, “Makanan-makanan ini tidak terasa seperti dari tanah”.

Perempuan Marind mengolah sagu di sekitar rumpun sagu.

Hilangnya pangan hutan tradisional dan pangan komoditas sebagai pengganti sering disangkutkan oleh orang-orang Marind sebagai penyebab merebaknya kelaparan di dalam komunitas mereka.(4) Pada dasarnya dengan cara-cara tertentu, orang-orang Marind menjelaskan bahwa kelaparan lebih daripada sekedar hasrat fisik akan makanan dalam istilah yang generik. Kelaparan menurut orang Marind lebih berbicara tentang dampak-dampak kerusakan lingkungan pada hubungan-hubungan kasih sayang dan material dengan hutan dan keragaman organisme hidup. Melupakan rasa sumber pangan dari hutan berarti melupakan mitos, peristiwa, dan pertemuan yang secara historis menghubungkan dunia-dunia manusia dengan dunia persaudaraan hewan dan tumbuhan. Kelaparan mewujud dalam cara-cara penghilangan lanskap yang menubuh di mana sejarah dan relasi multispesies itu tercatat.(5) Rasa lapar melingkupi putusnya sosialitas yang melampaui hubungan antarmanusia dan terkikisnya identitas yang ditegaskan melalui konsumsi dan pertukaran makanan yang berasal dari hutan.(6) Sebagaimana Pius, seorang tetua dari desa Bayau berujar kepada saya, “Ketika saya merasa lapar, saya teringat hutan yang telah habis. Saya teringat binatang-binatang yang telah mati. Saya mengingat pohon-pohon yang tumbang. Rasa lapar ini membuat saya sedih dan kesepian. Ketika keluarga dan teman saya melihat rasa lapar ini, mereka juga, menjadi sedih dan kesepian.”

Tetapi bukan hanya orang-orang Marind yang terdampak buruk oleh perkembangan perkebunan monokultur. Hutan, yang merupakan saudara mereka, pun menderita atas hilangnya habitat dan ekosistemnya, dengan cara-cara yang mengancam kemampuan kolektif mereka untuk bertahan dan hidup. Perkebunan monokultur menahan tumbuhan dan hewan endemik bermigrasi dengan menciptakan halangan-halangan tanpa celah untuk melintas melalui tanah dan air. Beberapa spesies memang dapat hidup dalam ekologi-ekologi kelapa sawit yang ditandai dengan kanopi rendah, vegetasi jarang, iklim mikro yang tidak stabil, suhu tinggi, dan adanya lapisan batuan beracun dari pupuk kimia, herbisida, dan pestisida. Namun, babi hutan dan kasuwari yang bepergian ke dalam perkebunan untuk hidup dari buah minyak sawit justru diburu oleh pekerja-pekerja perusahaan untuk dikonsumsi atau diperjualbelikan. Cabang-cabang bambu dan rumpun sagu tumbang ketika mineral dan nutrisi lainnya di tanah terkuras. Banyak warga desa di Merauke meratapi berkurangnya perburuan massal dan aktivitas mencari makan di alam bebas yang dulunya mendukung hubungan-hubungan manusia dengan non-manusia di dalam ekologi hidup hutan. Para perempuan berduka atas pembabatan rumpun-rumpun sagu, tempat di mana mereka dulunya merayakan peran mereka sebagai mama-mama bersama tanaman yang tubuh dan cairannya, layaknya seperti mereka sendiri, telah menyediakan anak-anak Marind dengan asupan bergizi.

Keluarga Marind dalam perjalanan untuk memburu dan meramu.

Dampak-dampak merusak dari deforestasi dan ekspansi perkebunan tunggal pada organisme non-human mesti dipahami dalam konteks kosmologi orang-orang Marind, di mana tanaman dan binatang dianggap sebagai makhluk yang hidup dan peserta aktif di dalam kumpulan berbagai makhluk. Interaksi dari makhluk manusia dan non-manusia dalam kosmologi ini bertumpu pada prinsip-prinsip pertukaran dan kasih. Tanaman dan binatang tumbuh untuk mendukung saudara manusia mereka dengan menyediakan mereka makanan dan sumber daya lainnya. Sebagai gantinya, manusia harus menghormati dan melakukan ritual-ritual ketika mereka bertemu dengan tanaman dan binatang di hutan, mengingat kembali cerita-cerita mereka, memburu, mengumpulkan dan mengkonsumsi mereka dengan penuh rasa hormat.(7) Tindakan merawat timbal balik ini memungkinkan manusia dan non-manusia untuk ikut serta di dalam komunitas kehidupan yang sama di dalam lingkungan hutan.(8) Bagi orang-orang Marind, relasi-relasi interspesies berharga inilah yang menumbuhkan pangan hutan dengan kualitas bergizi, penuh rasa dan makna. Relasi tersebut pula lah yang menjadi sumber bagi kepekaan dan sumber dari identitas, kepemilikan dan martabat sebagai komunitas masyarakat adat. Sebagaimana yang dijelaskan salah satu teman saya, Geraldus, “Hutan tidak hanya menjadi sumber daya bagi kami. Hutan adalah keluarga kami. Jika kamu menghabisi hutan, kamu menghabisi masa depan generasi mendatang orang-orang Marind. Kamu juga menghancurkan masa depan generasi mendatang hutan-hutan. Manusia – non manusia, kami adalah korban-korban pemusnahan.”

Deforestasi dan ekspansi perkebunan tunggal kelapa sawit menyebabkan kelaparan pada manusia, tumbuhan, dan hewan.

Sebagaimana tanaman dan binatang hutan menyediakan gizi bagi saudara manusia mereka, orang-orang Marind juga bertanggung jawab untuk memberi makan makhluk hutan di sekitar mereka. Contohnya, keringat orang-orang desa memupuk pertumbuhan vegetasi ketika bersentuhan dengan cabang-cabang, dedaunan, dan tunas pohon. Darah manusia menjadi makanan bagi makhluk hematofagus seperti lintah dan nyamuk. Para pemburu dengan sengaja menebar buah-buahan, kacang dan sagu di daerah tempat mereka menangkap buruan, dipertukarkan dengan hidup binatang-binatang yang telah ditangkap. Satu porsi setara dengan asupan seorang laki-laki dewasa selalu ditinggalkan untuk binatang, biasanya ditinggalkan di atas sebongkah tanah atau terbungkus dengan daun pisang. Orang-orang Marind terus merawat saudara liyan-dari-manusia mereka setelah kematian, ketika tubuh-tubuh mereka terkubur di hutan dan terurai untuk memberi nutrisi bagi tanah, tanaman, fungi, lumut dan serangga, sebagaimana mamalia, reptilia, dan unggas yang memangsa organisme-organisme tersebut. Jauh dari hak prerogatif yang seolah dimiliki manusia saja, makanan merupakan kemampuan setiap makhluk dalam ekologi hutan untuk menghuni dan berpindah melintasi berbagai subjektivitas yang saling terkait – sebagai pemberi makan, makan, dan makanan.

Filosofi orang-orang Marind menunjukkan kemanunggalan mutlak atas alam dan budaya, manusia dan non-manusia di dalam kosmologi masyarakat adat. Kemanunggalan ini kemudian melatarbelakangi persatuan yang sosial dan lingkungan ketika ia berhadapan dengan perihal ke(tidak)adilan, atau yang dapat dikatakan sebagai “keadilan multispesies”.(9) Seperti ucapan Geraldus, orang-orang Marind dan saudara liyan-dari-manusia mereka membentuk komunitas nasib bersama di tengah deforestasi yang buas dan ekspansi perkebunan tunggal yang mengancam masa depan kolektif yang melampaui antarmanusia semata. Dalam hal ini ke(tidak)adilan juga bekerja antargenerasi, di dalam transformasi ekologi masa kini yang akan berdampak kuat terhadap generasi mendatang, baik manusia dan non-manusia. Aspek-aspek beragam atas perubahan semesta orang-orang Marind ini menyoroti persimpangan luar biasa dari kepentingan manusia dan non-manusia dalam reruntuhan dan puing-puing ekspansi tekno-kapitalis. Mereka juga harus dinilai dalam konteks yang lebih luas dari proses-proses yang tidak adil yang dilalui oleh keberlangsungan ekspansi ini – yaitu, tanpa persetujuan terbuka yang disampaikan ke pemilik tanah adat, atau berdasarkan bentuk-bentuk konsultasi tokenisme yang sering kali dipraktikkan di bawah paksaan atau intimidasi.(10)

Di tengah rezim kapitalis yang marak dan mapan, kemungkinan-kemungkinan apa yang hadir bagi orang-orang Marind dan saudara liyan-dari-manusia mereka? Menurut beberapa orang Marind, keadilan bisa berwujud benda berharga dan pengabdian mereka yang selama ini tidak diakui. Sebagai contoh, komunitas tersebut harus mendapatkan kompensasi moneter yang pantas dari keuntungan atas lahan mereka, gaji yang layak, kesempatan pendidikan dan fasilitas kesehatan. Bagi beberapa orang lainnya, keadilan adalah peradilan yang adil. Perusahaan-perusahaan harus mendapatkan persetujuan yang terbuka sejak awal dan dinyatakan kepada pemilik lahan sebelum merancang dan menerapkan proyek-proyek mereka. Komunitas harus secara penuh mengetahui risiko dan keuntungan dari pembangunan yang ditawarkan. Sistem sewa lahan adat dan kolektif mereka harus dinyatakan, termasuk pemilihan perwakilan mereka dalam negosiasi terkait lahan. Terutama, hak komunitas untuk mengatakan ‘tidak’ pada minyak sawit harus senantiasa dihormati. Orang-orang Marind lainnya mensyaratkan keadilan dengan pendekatan restoratif dan retributif. Lahan yang hilang di bawah paksaan atau pemalsuan harus dikembalikan kepada pemiliknya, bersama dengan panen dan bangunan yang didirikan di atasnya. Kemandirian berbasis hutan yang dirusak oleh pengalihan perkebunan tunggal harus diperbaiki dalam bentuk mata pencaharian dan akses terhadap pasar lokal dan kota. Denda harus dibebankan pada firma-firma yang gagal menerapkan proyek kesejahteraan sosial, merusak ketahanan pangan dan air komunitas dan secara ilegal membakar hutan untuk menanam kelapa sawit.

Meskipun demikian, berbagai bentuk keadilan hadir dengan berbagai ketidak jelasan.(11) Bagi beberapa orang, benda, materi dan aturan restoratif tidak dapat secara adil menggantikan lingkungan yang telah rusak dengan drastis, vegetasi yang terkikis, tubuh yang terkontaminasi, dan spesies yang terancam punah. Bagi beberapa orang lainnya, menolak proyek-proyek kelapa sawit dinilai kurang masuk akal karena sedikitnya kemungkinan alternatif bagi perkembangan ekonomi yang terdapat di pedesaan Merauke. Pengembalian lahan-lahan ke tangan orang lokal beriringan dengan risiko konflik dan kompetisi antarklan karena tanaman, penanda alami, dan bangunan yang dulu menjejaki batas teritori mereka masing-masing telah musnah. Dilema ini dan dilema lain mengenai bentuk dan kemungkinan keadilan menimbulkan tegangan antara orang-orang Marind yang tergiur oleh keuntungan-keuntungan yang ditawarkan oleh sektor kelapa sawit dan mereka yang setia menentangnya. Faksi-faksi ini mengacu ke dalam pro dan kontra lokal yang juga tidak stabil atau tidak berbatas. Ketika orang-orang berikhtiar untuk mengarahkan masa sekarang mereka ke masa depan yang lebih layak, mereka berpindah dari satu titik ke titik lainnya dan kembali. Sebagaimana tetua Marind Pius berujar, “Tidak satu orang pun mengetahui keadilan macam apa yang dapat berlaku. Tak seorang pun memiliki kuncinya. Setiap orang mencari jalan yang tepat.”

Pemahaman kompleks orang-orang Marind akan keadilan mendorong sebuah kemajemukan atas konsep keadilan itu sendiri sebagai praktik yang tersituasikan dan konstruk budaya. Pemahaman ini secara khusus mengajak kita untuk menilai kemungkinan makhluk-makhluk non-manusia sebagai subyek hukum berdampingan dengan saudara manusia mereka – pohon sagu dibabat untuk membuka lahan kelapa sawit, kasuwari diburu dan dihabisi untuk perdagangan hewan liar ilegal, sungai dan tanah berpolusi dan terkikis oleh ekstraksi industri, serta langit dan atmosfer terkontaminasi oleh pestisida beracun, asap dan kabut. Kemudian, apa yang kira-kira dimaksud dengan memperluas keadilan melampaui manusia? Apa yang harus dilalui oleh tanaman dan binatang untuk dinilai sebagai pemilik hak-hak yang sama dengan manusia di depan hukum? Dan bagaimana hukum sendiri dapat tercerahkan dengan filosofi masyarakat adat dan protokol-protokol kasih sayang dan pemuliaan antarspesies?

Orang-orang Marind merundingkan masa depan tanah dan penghidupan mereka.

Pada sebuah masa penghancuran lingkungan seluas planet, hukum dan kebijakan yang bersandar pada asumsi-asumsi antroposentrisme dan individualisme tidak akan berfungsi. Kita justru harus mengembangkan konsep-konsep keadilan yang relasional yang menerima seluruh spektrum kehidupan yang bertahan dan hidup melalui ketergantungan dan keterhubungan mutual mereka. Menerapkan gagasan relasional akan keadilan semacam itu berarti dekolonisasi relasi-relasi multispesies dari kerangka dominan atas ‘non-manusia’ yang hanya bernilai jika ia berguna untuk dan bagi manusia. Dan itu juga berarti dekolonisasi keadilan dari asumsi destruktif tentang pengecualian manusia yang mendorong ekstraksi massal dan kepunahan hidup planet di masa ekspansi kapitalis yang tamak pada diri sendiri.(12)

Orang-orang Marind di Merauke terus berusaha untuk mencapai keadilan sosial dan lingkungan di hadapan ekspansi agribisnis besar-besaran. Beberapa dari mereka mengusahakannya melalui advokasi nasional dan internasional, dan beberapa lainnya melalui protes dan demonstrasi akar rumput.(13) Beberapa lainnya berjuang melalui cerita dan anyaman noken. Beberapa lainnya berjuang demi keadilan dengan mengingat dan menurunkan pengetahuan ekologis tradisional kepada anak dan cucu mereka, supaya mereka tidak lupa siapa diri mereka dan dari mana mereka berasal.(14) Sementara itu, beberapa orang Marind beralih ke lagu dan puisi sebagai cara mengingat dan berkabung atas banyak makhluk yang dimusnahkan oleh ekspansi perkebunan monokultur. Salah satunya adalah Kosmas, seorang anak muda Marind dan teman dekat saya. Di satu hari penuh kabut mencekik di bulan Juni 2019, Kosmas menghampiri bangkai saudara klannya, seekor ular yang telah terlindas oleh truk-truk yang melintasi jalanan lumpur di suatu perkebunan milik pribadi, hingga tak dikenali lagi bentuknya. Berlutut di samping mayat saudaranya yang telah rusak, Kosmas meratap, dan ia kemudian mulai bernyanyi. Atas nama penghormatan bagi Kosmas dan saudara liyan-dari-manusianya, saya mengakhiri narasi ini dengan nyanyian Kosmas – nyanyian tentang ketidakadilan, duka, kemarahan juga rasa sayang, kasih dan perawatan (diterjemahkan dari bahasa Marind):

 

Sami, Sami, kau menyelinap, kau melaju
Saudari hutanku, saudari rumpun-rumpun pohon
Sami, Sami kau berjalin, kau melesat
Saudari sungaiku, saudari rawa-rawa
Sami, kau terlahir dari tanah liat dan air pasang
Kulitmu licin dan mengkilap, bercorak tanah
Tenang dan malu-malu, kau merayap di tanah
Memindahkan tanah dan dedaunan, mengukir tanah

Di sini kau terbaring, Sami, saudari ularku
Tubuhmu remuk, tak lagi lembab
Aku tak sanggup melihatmu
Aku tak sanggup meninggalkanmu
Truk-truk dan mobil-mobil itu, merenggut nyawamu
Tanpa perhatian, tanpa melihat, tanpa mengetahui
Mereka meninggalkanmu mati di sini
Merenggut lembabmu, merenggut kebanggaanmu

Di sini kau terbaring, Sami, saudari ularku
Merah darahmu terlalu merah, putih matamu terlalu putih
Sami, Sami, Aku tak sempat menyelamatkanmu
Aku tak rela kau mati
Sami, Sami
Berapa lamanya kau sekarat di sini?
Berapa banyak truk telah menggilas kulitmu?

Tapi Sami, Sami,
Ku takkan berpaling
Ku takkan meninggalkanmu
Ku kan membungkusmu dalam dedaunan dan pakis
Ku kan membawamu dengan seluruh ragaku
Ke tempat nan tenang, hijau, kan kubawa kau
Ke tempat di mana nenek moyangmu lahir
Dan di sana, kau akan beristirahat
Di bawah temaram hutan, kau dapat tidur
Di sana, tak ada rasa sakit atau debu yang akan menghantuimu
Hujan dan tanah kan merangkulmu
Mimpi buruk ini akan membebaskanmu

Saudari hutanku, saudari rumpun-rumpun pohon
Sami, terlahir dari tanah liat dan air pasang
Kau dan aku sedarah dan seraga sejak dahulu kala
Kini, kau ku mohon, terima lah lagu ini
Dengan lagu ini kau akan terus hidup

 

Penerjemah: Fiky Daulay

Catatan: Pseudonim digunakan untuk seluruh nama tempat dan orang, kecuali nama kota-kota besar, kawasan dan provinsi.

 

Tentang penulis:
Sophie Chao adalah seorang rekan peneliti pasca doktoral di School of Philosophical and Historical Inquiry di University of Sydney. Penelitian antropologis dan interdisipliner yang ia lakukan mengkaji persimpangan antara sifat masyarakat adat, ekologi dan kapitalisme di kawasan Pasifik. Untuk mengetahui lebih lanjut, silahkan kunjungi www.morethanhumanworlds.com, atau email sophie.mh.chao@gmail.com.
 

Tautan ke organisasi terkait:
Yayasan Pusaka: https://pusaka.or.id/en/pusaka-or-id-english/
WALHI Papua (Indonesia): https://walhipapua.org/
Sekretariat Keuskupan dan Perdamaian Keuskupan Agung Merauke (SKP KAME): Jl. Kimaam No. 2 Merauke Merauke, Papua
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara: https://www.aman.or.id/
 

Bacaan lebih lanjut oleh Sophie Chao:
(1) “In the Shadow of the Palm: Dispersed Ontologies Among Marind, West Papua.” Cultural Anthropology 33(4) (2018), pp. 621–49.
In the Shadow of the Palms: More-Than-Human Becomings in West Papua (Duke University Press: 2022).
(2) “Gastrocolonialism: The Intersections of Race, Food, and Development in West Papua.” The International Journal of Human Rights (Forthcoming).
(3) “Sago: A Storied Species from West Papua.” The Living Archive: Extinction Stories from Oceania (2019). https://www.extinctionstories.org/2019/05/23/sago-a-storied-species-of-west-papua/.
(4) “Eating and Being Eaten: The Meanings of Hunger among Marind.” Medical Anthropology (2021). https://doi.org/10.1080/01459740.2021.1916013.
(5) ““There Are No Straight Lines in Nature”: Making Living Maps in West Papua.” Anthropology Now 9(1) (2017), pp. 16–33.
(6) “Hunger and Culture in West Papua.” Inside Indonesia (2019). https://www.insideindonesia.org/hunger-and-culture-in-west-papua
“‘In the Plantations There Is Hunger and Loneliness’: The Cultural Dimensions of Food Insecurity in Papua (Commentary),” Mongabay (2020). https://news.mongabay.com/2020/07/in-the-plantations-there-is-hunger-and-loneliness-the-cultural-dimensions-of-food-insecurity-in-papua-commentary/
“Culture, Food, and Environment: Indigenous Experiences of Hunger in West Papua.” Sydney Environment Institute (2019). https://sei.sydney.edu.au/opinion/culture-food-environment-indigenous-experiences-hunger-west-papua/
“Is Hunger Culture-Bound?“ Somatosphere (2020). http://somatosphere.net/2019/is-hunger-culture-bound.html/.
(7) “Wrathful Ancestors, Corporate Sorcerers: Rituals Gone Rogue in Merauke, West Papua.” Oceania 89(3) (2019), pp. 266–283. https://doi.org/10.1002/ocea.5229
(8) “The Plastic Cassowary: Problematic ‘Pets’ in West Papua.” Ethnos 84(5) (2019), pp. 828–48.
(9) Chao, Sophie, Eben Kirksey, and Karin Bolender (eds). The Promise of Multispecies Justice. (Under contract, Duke University Press).
(10) “Cultivating Consent: Opportunities and Challenges in the West Papuan Oil Palm Sector.” New Mandala (2019). https://www.newmandala.org/cultivating-consent/.
(11) “Can There Be Justice Here? Indigenous Experiences in the West Papuan Plantationocene,” Borderlands (Under review).
(12) “Decolonising Climate Change: A Call for Beyond-Human Imaginaries and Knowledge Generation,” eTropic: electronic journal of studies in the tropics (Forthcoming).
“Why Multispecies Ethnography Matters for Human Rights and the Climate.” Earth Cries: A Climate Change Anthology. (Sydney: Sydney University Press, 2021), pp. 97–102.
(13) “A Tree of Many Lives: Vegetal Teleontologies in West Papua.” HAU: Journal of Ethnographic Theory 10(2) (2020), pp. 514–29.
(14) “Children of the Palms: Growing Plants and Growing People in Merauke, West Papua.” Journal of the Royal Anthropological Institute 27(2) (2021), pp. 245–64.

© 2021 penulis