Unduh di sini:
Esai ini berangkat dari perasaan marah dan kecewaku terhadap negara, sistem politik-ekonomi yang dianutnya, dan gerakan lingkungan mainstream yang sering disorot media. Di sisi lain, tujuanku menulis ini juga karena aku ingin menunjukkan kepada kalian bahwa harapan masih ada di sini, di tengah krisis pandemi. Ia masih hidup dan diam-diam bermekaran, di tengah keputusasaan. Politik prefiguratif adalah salah satu contohnya.
Apa itu?
Sebenarnya, tidak ada definisi pasti soal ini. Tetapi beberapa akademisi, penulis ataupun aktivis yang mencoba menjelaskannya memiliki kesimpulan yang rata-rata sama. Awalnya, istilah ini dipopulerkan pada 1977 oleh Carl Boggs, seorang akademisi Amerika Serikat yang menulis artikel berjudul Marxism, Prefigurative Communism, and the Problem of Workers’ Control.1 Fokus utama dari artikel tersebut adalah tentang pemberontakan dewan pekerja di Rusia, Italia, dan Jerman antara 1917-1920. Dalam artikel itu, Boggs mendefinisikan politik prefiguratif sebagai sebuah organisasi atau gerakan yang mewujudkan “bentuk-bentuk relasi sosial, pengambilan keputusan, budaya, dan pengalaman manusia yang kelak akan menjadi tujuan akhir.”2
Paul Raekstad dan Sofa Saio Gradin dalam buku mereka berjudul Prefigurative Politics: Building Tomorrow Today melihat politik prefiguratif sebagai “implementasi eksperimental yang disengaja dari hubungan sosial dan praktik masa depan yang diinginkan di sini dan sekarang”.3 Berbeda dengan Boggs, Raekstad dan Gradin lebih jauh lagi menekankan bahwa politik prefiguratif juga harus interseksional. Karena “bagaimanapun juga, menciptakan hubungan sosial yang bebas, setara, dan demokratis membutuhkan perubahan tidak hanya lembaga formal, tetapi juga bagaimana norma sosial kita, nilai-nilai, pembagian kerja, dan praktik sosial lainnya mempengaruhi kekuatan kita dan seperti apa organisasi kita sebenarnya.”4
Dalam gerakan anarkis, Ruth Kina berpendapat bahwa “politik prefiguratif telah diidentifikasi sebagai konsep inti pemikiran anarkis kontemporer.”5 Lalu pada tahun 2011, dua bulan setelah dimulainya Occupy Wall Street6, David Graeber juga mengidentifikasi politik prefiguratif sebagai salah satu dari empat prinsip khas gerakan anarkis, tiga lainnya adalah aksi langsung, ilegalisme, dan penolakan atas hierarki. Ia menggambarkan Occupy sebagai “upaya tulus untuk menciptakan institusi masyarakat baru dalam cangkang yang lama”7. Mengejar gagasan itu, Graeber mengaitkan prefigurasi dengan penciptaan majelis umum (general assemblies) yang demokratis, pengambilan keputusan konsensus, berbagai bentuk gotong-royong (mutual aid), dan lembaga swadaya – termasuk dapur, perpustakaan, klinik, dan pusat media.8
Di sini, aku tidak akan menjelaskan anarkisme terlalu jauh karena itu bukan fokus utamaku. Tetapi pembahasan soal bentuk-bentuk politik prefiguratif yang aku jelaskan nanti akan sangat terkait dengan prinsip-prinsip anarkis seperti gotong-royong, swakelola, anti-hierarki, demokrasi langsung, desentralisasi, dan asosiasi sukarela.
Benih-benih mimpi untuk mewujudkan berbagai dunia tanpa ada yang mengeksploitasi atau dieksploitasi, yang mendominasi atau didominasi, yang menindas atau ditindas di dunia sekarang yang semua itu sedang dan masih terjadi, bisa kita tanam bersama dari sekarang dengan tindakan. Bermacam-macam cara alternatif untuk berhenti mereproduksi sistem Kapitalisme9 sangat penting untuk dipikirkan dan dilakukan, terutama setelah setahun lebih virus corona menginfeksi dan bahkan sampai menyebabkan kematian jutaan orang di dunia.
Krisis pandemi hanyalah salah satu dari banyaknya krisis yang sudah dan sampai saat ini masih terjadi. Contohnya seperti krisis ekonomi, lingkungan, kelaparan, kemiskinan, dst. Dari dulu, kapitalisme tidak pernah bertujuan untuk menguranginya. Sebaliknya, ia selalu diperkuat dan dimodifikasi untuk menciptakan dan mengatur apapun bentuk krisisnya agar bisa menghasilkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Namun sejauh ini, sepertinya Covid-19 lah yang berhasil membongkar wajah asli dari sistem kapitalisme yang selama ini selalu ditutupi.
Sudah tidak terhitung berapa kali aku menulis, menghapus, dan mengubah beberapa poin yang ingin aku sampaikan. Rasanya seperti terjebak di dalam lingkaran setan. Selama proses penulisan, banyak kejadian buruk (lagi) yang aku baca, tonton, dan dengar semenjak gelombang kedua Covid-19 menghantam Indonesia, terutama Yogyakarta, di mana aku tinggal. Di antara banyaknya korban yang meninggal karena tidak mendapatkan fasilitas kesehatan yang layak, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) malah menyalahkan warga yang ‘tidak bisa diatur untuk tetap di rumah saja’. Selain itu, Pemerintah Daerah (Pemda) juga memaksakan Pemberlakuan Pengetatan Kegiatan Masyarakat (PPKM) tanpa memberi jaminan pemenuhan kebutuhan dasar.
Apa yang mereka pikirkan? Dikira rakyat bisa tenang menetap di rumah tanpa bekerja dengan perut kosong? Dan bagaimana pula nasib warga yang tidak memiliki rumah atau tempat tinggal? Alih-alih menggunakan Dana Keistimewaan (Danais) yang jumlahnya triliunan untuk memberi rakyat makan dan akses kesehatan, Pemda malah sibuk melempar kesalahan dan secara paksa mengontrol mobilitas warga.
Kesulitan di masa pandemi yang dialami masyarakat Indonesia diperparah dengan disahkannya UU Omnibus Law Cipta Kerja dan revisi UU Mineral dan Batu Bara (Minerba) oleh pemerintah. Undang-undang ini bertujuan untuk memberikan para penguasa akses yang lebih mudah untuk mendapat keuntungan maksimal dengan cara mengeksploitasi manusia dan alam. Padahal jauh sebelum ini disahkan, masa pandemi telah menjadi pembenaran perusahan untuk secara sewenang-wenang memecat para buruhnya dengan dalih tidak mampu membayar mereka karena pemasukan menurun drastis.
Bukan suatu hal yang kebetulan jika virus corona yang telah menginfeksi jutaan orang di dunia ini terjadi ketika krisis lingkungan semakin memburuk. Rob Wallace, seorang ahli epidemiologi mengatakan bahwa “bahaya nyata dari setiap wabah adalah kegagalan untuk memahami bahwa setiap Covid-19 yang baru bukanlah insiden yang terisolasi.”10 Menurutnya, “peningkatan terjadinya virus terkait erat dengan produksi makanan dan profitabilitas perusahaan multinasional.”11 Ia juga menambahkan bahwa “siapa pun yang ingin memahami mengapa suatu virus menjadi lebih berbahaya harus menyelidiki model industri pertanian dan produksi ternak.”12
Meningkatnya kebutuhan perusahaan multinasional untuk tanpa henti memaksimalkan profit mendorong adanya perampasan lahan yang selanjutnya mengakibatkan deforestasi. Pada akhirnya, kehidupan masyarakat adat, pedesaan, dan non-manusia lah yang paling terancam. Warga miskin kota pun tidak luput dari penggusuran paksa oleh negara dengan alasan “pembangunan”. Pada 2020 saja, contohnya, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat ada 241 konflik agraria yang dipantau oleh mereka.13 Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) juga sudah mencatat 41 kasus pelanggaran oleh negara dan perusahaan multinasional khususnya terhadap masyarakat adat. Pelanggaran tersebut berupa kriminalisasi, perampasan tanah dan hak spiritual, hingga masalah pencemaran lingkungan.14
Bukan berarti tidak ada perlawanan dari mereka yang termarjinalkan. Salah satu contohnya adalah warga Desa Wadas (Purworejo, Jawa Tengah) yang sedang berjuang melawan penambangan quarry yang nantinya digunakan untuk pembangunan Bendungan Bener di desa lain. Bagi warga Wadas yang rata-rata adalah petani, desa mereka adalah ‘tanah surga’ yang selalu mencukupi kehidupan mereka selama ini. Jika penambangan dilakukan, tanah yang menjadi sumber penghidupan mereka terancam hilang. Aksi langsung seperti pemblokiran jalan dan penggagalan pemasangan tenda di balai desa oleh Wadon (perempuan) Wadas, hingga penggugatan Ganjar Pranowo (Gubernur Jateng) ke pengadilan sudah dilakukan.15 Selain warga Wadas, masih banyak lagi yang sampai saat ini melakukan perlawanan demi mempertahankan tanahnya dengan cara-cara mereka sendiri.
Ini hanya beberapa dari banyaknya contoh yang akarnya berasal dari kekerasan struktural yang diciptakan oleh negara dan sistem-sistem ekstraktif lainnya.
Jadi, bayangkan kemungkinan terburuk apa yang bisa terjadi setelah UU ini diberlakukan. Aku masih ingat betapa semangatnya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) rapat sampai tengah malam demi mempercepat pengesahan UU anti-rakyat ini. Ada dewan yang katanya “mewakili suara rakyat” saja sudah aneh. Karena kenyataannya, rakyat mampu mengatur hidup mereka sendiri dan merawat satu sama lain.
Hal ini terbukti sangat jelas terutama ketika pemerintah pertama kali memberlakukan lockdown di hampir semua daerah. Warga bergotong royong membagikan masker gratis di jalanan, membangun dapur umum, pasar gratis, dan komunitas berkebun agar bisa bersama-sama bertahan dalam situasi krisis. Tanpa bergantung pada bantuan dari pemerintah, partai politik atau lembaga mana pun, gerakan otonom horizontal di mana warga berpartisipasi secara sukarela ini dapat berjalan dengan lancar tanpa ada yang mengatur atau diatur. Walaupun bukan berarti tidak ada kendala dalam melaksanakannya, eksistensi mereka sekarang menunjukkan bahwa solidaritas antar warga cukup efektif setidaknya untuk memenuhi kebutuhan pokok bersama.
Sekarang, mari kita bahas bagian yang paling menyenangkan, yaitu beberapa contoh politik prefiguratif.
Aku akan memulai dengan Pasar Gratis Jogja, di mana aku beberapa kali mendapat kesempatan untuk ngobrol dengan orang-orang yang ikut terlibat di dalamnya. Dilihat dari banyaknya jumlah barang yang diproduksi setiap harinya, akan lebih dari cukup jika dibagikan untuk semua orang. Namun dengan sistem ekonomi yang berlaku saat ini, kebutuhan dasar diubah fungsinya menjadi komoditas — menjadi barang yang diperjual-belikan. Pasar Gratis mencoba menentang itu dengan cara-cara sederhana. Setiap pasar diadakan, mereka menyediakan pakaian, makanan, dan terkadang kelas menggambar bersama terutama untuk anak-anak. Terkadang juga ada orang yang menawarkan jasanya seperti cukur rambut, cek tensi, atau cek gula darah. Semuanya gratis.
Sering orang yang datang bertanya apakah ini kegiatan bansos (bantuan sosial) dari kampus. Setiap individu yang ikut berpartisipasi punya jawaban yang kurang lebih sama: Pasar Gratis bukan gerakan amal, ini adalah sebuah bentuk protes. Berbeda dengan amal yang biasanya bertujuan untuk “menyelamatkan” orang miskin atas dasar rasa kasihan, kolektif ini mampu bergerak atas kesadaran bahwa kita sebagai bagian dari masyarakat yang tertindas tidak bisa terus menerus mengharapkan bantuan kepada para penguasa yang dari awal memang sengaja menciptakan penindasan itu sendiri.
Dalam hal pengelolaannya, setiap individu bebas menentukan perannya dan sadar akan tanggung jawab masing-masing. Mereka juga tidak memiliki ketua atau pemimpin. Dalam pengambilan keputusan, setiap opini atau kritik selalu akan didengar dan dihormati. Tidak ada yang memiliki kekuasaan lebih dari yang lain.
Di Yogyakarta, Pasar Gratis telah tersebar di tiga titik yaitu di kota Jogja, Bantul, dan Wonosari. Sejak awal pandemi, sudah ada belasan (mungkin sekarang puluhan) Pasar Gratis16 lainnya yang juga mulai tersebar di beberapa daerah di Indonesia. Bukan, mereka bukan cabang. Masing-masing dibangun dan dikelola oleh orang-orang yang berbeda. Walaupun tidak terpusat, mereka saling berkenalan dan mempererat solidaritas melalui media sosial maupun kunjungan ke lapakan langsung di masing-masing daerah. Bahkan pada tahun 2020, beberapa kali Pasar Gratis dari beberapa daerah di Indonesia mengadakan lapakan serentak.
Berdasarkan pengamatanku, Pasar Gratis bukan hanya soal bereksperimen untuk menciptakan sistem ekonomi mandiri. Melalui lapakan, mereka juga membuka ruang di mana orang-orang bisa berkumpul, berkenalan, bercerita, berbagi ilmu dan keterampilan, dan bergembira bersama tanpa harus mengeluarkan uang. Jadi ini bukan hanya tentang menciptakan ruang, tapi lebih soal menciptakan ruang yang memungkinkan kita untuk memperluas dan memperkuat solidaritas. Sebagai orang yang lahir dan tinggal di Jogja, aku memperhatikan betapa semakin terkikisnya ruang-ruang komunal seperti ini dalam beberapa tahun terakhir. Bahkan hanya untuk menikmati pemandangan hijau saja, kita harus ke kafe (tentu saja kalian harus beli minuman atau makanan di kafe tersebut) yang berada di dekat sawah atau sungai. Benar-benar tidak masuk akal.
Mungkin untuk kebanyakan orang, gerakan seperti ini tidak terlalu memiliki pengaruh besar, apalagi jika dikaitkan dengan keadilan iklim. Namun menurut Gopal Dayaneni, “kita tidak bisa sekedar melihat ke atas atmosfer dan menghitung berapa karbon yang harus kita kurangi dalam waktu, katakanlah, 10 tahun. Untuk memahami krisis iklim, kita mestinya juga melihat ke bawah pada sistem ekonomi, erosi tanah, tenaga kerja, sistem cinta, eksploitasi benih, tanah, dan cerita. Dayaneni berpendapat bahwa itulah tempat imajinasi nyata hidup. Ia hidup dalam kemampuan untuk membayangkan cara yang berbeda berada di dunia.”17
Ini mengingatkanku juga pada teori Ekologi Sosial dari Murray Bookchin yang berargumen bahwa semua bentuk hierarki sosial, politik, dan ekonomi adalah akar dari semua masalah sosial manusia termasuk dominasi segelintir orang atas alam yang pada akhirnya menyebabkan krisis ekologis.18 Dan pada kenyataannya, itulah yang terjadi sampai sekarang. Tetapi, berita baiknya adalah kita memiliki pilihan untuk berhenti hidup seperti ini.
Gerakan solidaritas sesama rakyat di masa pandemi ini adalah salah satu buktinya. Alih-alih berjuang sendiri, membantu satu sama lain dalam menghadapi krisis ini ternyata adalah cara yang lebih baik. Politik prefiguratif dalam skala besar juga sudah dipraktikkan jauh sebelum krisis pandemi terjadi. Salah satu cara perlawanan seperti ini bukanlah suatu hal yang baru.
Pada musim panas 2012, banyak komunitas etnis dan agama yang berbeda di Suriah Utara dan Timur atau yang lebih dikenal sebagai Rojava bergabung untuk membangun sistem pemerintahan mandiri yang pluralis, desentralis, adil gender (gender-egalitarian), dan ekologis.19 Sistem pemerintahan yang mereka gunakan disebut sebagai Konfederalisme Demokratis (Democratic Confederalism) yang Dilar Dirik, aktivis gerakan perempuan Kurdi, jelaskan sebagai berikut:
“Konfederalisme Demokratis adalah model swakelola sosial, politik, dan ekonomi yang diatur oleh masyarakat dengan latar belakang yang berbeda-beda dan dipelopori oleh perempuan dan para pemuda. Konfederalisme Demokratis secara praktis mencoba untuk mengekspresikan kehendak rakyat dengan lebih melihat demokrasi sebagai metode daripada tujuan. Sederhananya, ini adalah demokrasi tanpa negara.”20
“Sistem ini menempatkan “otonomi demokratis” di jantungnya: orang mengatur diri mereka secara langsung dalam bentuk komune dan membuat dewan. Di Rojava, proses ini difasilitasi oleh Tev-Dem, Gerakan untuk Masyarakat Demokratis. Komune terdiri dari lingkungan yang diatur sendiri secara sadar dan merupakan aspek paling esensial dan radikal dari praktik demokrasi. Komune juga memiliki komite yang bekerja pada berbagai masalah seperti perdamaian dan keadilan, ekonomi, keselamatan, pendidikan, perempuan, pemuda dan layanan sosial.”21
“Jika komune adalah area untuk pemecahan masalah dan pengorganisasian kehidupan sehari-hari, dewan berfungsi sebagai pembuat rencana aksi dan kebijakan untuk kohesi dan koordinasi. […] Komune mengirim delegasi terpilih ke dewan. Dewan desa mengirim delegasi ke kota-kota kecil, selanjutnya dewan kota kecil mengirim delegasi ke kota-kota besar, dan seterusnya. Masing-masing komune bersifat otonom, tetapi mereka saling terkait melalui struktur konfederal untuk tujuan koordinasi dan pengamanan prinsip-prinsip umum.”22
“Komune bekerja menuju masyarakat “moral-politik” yang terdiri dari individu-individu yang sadar, yang memahami bagaimana menyelesaikan masalah sosial, dan mengurus pemerintahan sendiri sehari-hari sebagai tanggung jawab bersama, daripada tunduk pada elit birokrasi.”23
Dalam terbitan mereka Make Rojava Green Again: Building an Ecological Society (2018), Komune Internasionalis Rojava menguraikan prinsip-prinsip ekologis mereka:
“Dalam masyarakat Rojava, cara produksi yang kooperatif, ekologis, dan terdesentralisasi adalah tujuannya. Semua aset, atau sumber daya alam, harus disosialisasikan, dan ekonomi juga didemokratisasi. Sangat penting bahwa produksi diputuskan berdasarkan proses negosiasi yang demokratis. Ini harus didasarkan pada kemungkinan sistem ekologi yang utuh dan seimbang dan pada kemampuan masyarakat itu sendiri.24 […] Di Kanton Cizîrê misalnya, sudah ada 57 koperasi yang terdiri dari sekitar 8.700 keluarga.25 […] Sistem yang dibangun berdasarkan swakelola dalam komune dan produksi dalam koperasi ini dimaksudkan agar semua sumber daya, seperti air, energi, dan tanah, bisa menjadi milik bersama.”26
Pada bab pertama dalam buku Pandemic Solidarity: Mutual Aid during the Covid-19 Crisis (2020), Emre Sahin dan Khabat Abbas mencatat: “Ketika Covid-19 mulai menyebar awal tahun lalu, Rojava membentuk Central Crisis Committee, komite darurat yang menyatukan perwakilan komune dan dewan dari bidang pendidikan, keamanan, kesehatan dan pemerintahan lokal,” dan bertujuan untuk memberikan bantuan kepada masyarakat yang terdampak.28
Selain melakukan lockdown total, komite ini membagikan makanan kepada penduduk yang harus berdiam di rumah dan mengatur titik medis di semua wilayah. Mereka juga menutup sekolah dari awal Maret 2020 dan memulai pembelajaran daring. Di beberapa wilayah yang tidak ada akses internet, para guru mengirim materi pelajaran dalam bentuk cetakan dan CD.29 Terlepas dari “perang yang masih harus mereka hadapi, embargo, dan kurangnya infrastruktur kesehatan,” komite ini tetap mengutamakan “pencegahan penyebaran virus dan memprioritaskan kesehatan masyarakat daripada ekonomi.”30
Singkatnya, penduduk yang tinggal di Rojava memiliki andil dalam pemerintahan sampai tingkat tertinggi. “Urusan seperti tempat tinggal, makanan, pendidikan, dan pekerjaan tidak diserahkan kepada segelintir orang saja, seperti negara. Hampir tidak mungkin untuk menemukan orang tidur di jalan atau menjadi pengemis di wilayah ini.”31 Keterlibatan warga secara langsung dalam pembuatan keputusan mampu menumbuhkan relasi sosial, sistem ekonomi dan politik berdasarkan pada perawatan kolektif (collective care), termasuk dengan alam.
Dari dua contoh yang sudah aku jelaskan, ada pelajaran yang bisa kita ambil ketika kita memikirkan cara, setidaknya, untuk mengurangi dampak kerusakan iklim di tengah krisis-krisis lainnya yang setiap hari semakin memburuk. Berbeda dengan gerakan iklim mainstream yang tuntutannya cenderung masih berada dalam kerangka negara, politik prefiguratif dalam praktiknya menunjukkan ketegasannya untuk enggan berkompromi dengan semua sistem sekarang yang telah menyebabkan penghancuran keseimbangan ekosistem di bumi.
Walaupun begitu, perlu ditekankan bahwa politik prefiguratif tidak akan pernah mampu meniru persis bentuk masyarakat yang kita inginkan di masa depan (entah bentuknya akan seperti apa — yang pasti akan selalu berkembang, dinamis, dan tidak homogen) selama kita masih berada di dalam cengkraman sistem opresif ini. Prefigurasi hanyalah satu dari banyaknya cara yang bisa kita lakukan bersama untuk menghancurkan Kapitalisme. Tetapi, setidaknya, tatanan sosial yang berusaha ia ciptakan berada di luar struktur paksaan atau penindasan, sehingga bisa membuka berbagai kemungkinan. Prefigurasi juga memungkinkan kita untuk lebih siap dalam menghadapi krisis apapun kedepannya. Selain itu, para individu yang terlibat dalam praktik eksperimental ini dapat mengalami secara langsung kebebasan yang mereka bangun bersama di sini dan sekarang.
Aku tidak tahu persis masa depan akan seperti apa. Kemungkinan besar akan semakin memburuk, tapi mungkin juga malah lebih baik. Atau bisa jadi percampuran antara keduanya. Berdasarkan dari pengalaman pribadiku berpartisipasi di dalam politik prefiguratif, aku belajar bahwa keadilan iklim adalah bagian dari perjuangan sehari-hari tanpa henti untuk pembebasan total dari penindasan, dominasi, dan eksploitasi sistem-sistem yang berkuasa saat ini.
Dunia di mana berbagai kehidupan bisa hidup dan tumbuh bersama bukan hanya mungkin, ia sedang dalam perjalanan.
Catatan Akhir:
1 Lihat: Carl Boggs, “Marxism, Prefigurative Communism, and the Problem of Workers’ Control,” Radical America 11 (November), 1977. Tersedia di: https://libcom.org/library/marxism-prefigurative-communism-problem-workers-control-carl-boggs. Diakses pada 24 Maret 2022.
2 Idem. Diterjemahkan dari Bahasa Inggris oleh penulis.
3 Paul Raekstad dan Gradin Sofa Saio. Prefigurative Politics: Building Tomorrow Today (Polity: 2019), pp. 10. Diterjemahkan dari Bahasa Inggris oleh penulis.
4 Eivind Dalh and Paul Raekstad, “What is Prefigurative Politics? How large scale social change happens”, The Anarchist Libarary (15 Februari 2020). Tersedia di https://theanarchistlibrary.org/library/paul-raekstad-and-eivind-dahl-prefigurative-politics. Diakses pada 24 Maret 2022. Diterjemahkan dari Bahasa Inggris oleh penulis.
5 Ruth Kinna, “Utopianism and Prefiguration,” dalam Chrostowska, S. dan Ingram, J. (eds), Political Uses of Utopia: New Marxist, Anarchist, and Radical Democratic Perspectives (New York, NY: Columbia University Press, 2016), pp. 198. Tersedia di https://usa.anarchistlibraries.net/library/ruth-kinna-utopianism-and-prefiguration. Diakses pada 23 Maret 2022.
6 Perlu dicatat bahwa terlepas dari keberhasilannya, sejak awal dimulai, “beberapa individu pribumi Amerika Utara telah mengkritik keputusan para aktivis (rata-rata white settlers) yang menamakan gerakannya dengan istilah Occupy sebagai sebuah penghinaan. Sebab “dengan menegaskan untuk “mengambil kembali Wall Street” dan “okupasi”, mereka sebenarnya malah menghapus warisan panjang pendudukan kolonial (colonial occupation) atas tanah masyarakat adat, dan fakta bahwa Wall Street sendiri dibangun di atas perampasan.” Sumber: J. Kēhaulani Kauanui, “The Politics of Indigeneity, Anarchist Praxis, and Decolonization”, Anarchist Developments in Cultural Studies, Vol. 2021 No. 1, hal. 21, pp. 21. Tersedia di https://journals.uvic.ca/index.php/adcs/article/view/20169/8928. Diakses pada 24 Maret 2022.
7 David Graeber, “Occupy Wall Street’s anarchist roots”, Aljazeera Opinions, 30 November 2011, koran digital. Tersedia di https://www.aljazeera.com/opinions/2011/11/30/occupy-wall-streets-anarchist-roots/. Diakses pada 24 Maret 2022. Diterjemahkan dari Bahasa Inggris oleh penulis.
8 Idem.
9 Saat aku menyinggung sistem Kapitalisme, berarti ini juga termasuk sistem-sistem opresif lainnya yang terhubung satu sama lain seperti negara, rasisme, kolonialisme, supremasi kulit putih, heteropatriarki, spesiesisme, ageisme, dan ableisme.
10 “Where did coronavirus come from, and where will it take us? An interview with Rob Wallace, author of Big Farms Make Big Flu”, Uneven Earth, 12 Maret 2020. Tersedia di http://unevenearth.org/2020/03/where-did-coronavirus-come-from-and-where-will-it-take-us-an-interview-with-rob-wallace-author-of-big-farms-make-big-flu/. Diakses pada 23 Maret 2022. Diterjemahkan dari Bahasa Inggris oleh penulis.
11 Idem. Diterjemahkan dari Bahasa Inggris oleh penulis.
12 Idem. Diterjemahkan dari Bahasa Inggris oleh penulis.
13 “Catatan Akhir Tahun 2020 Konsorsium Pembaruan Agraria: Pandemi Covid 19 dan Perampasan Tanah Berskala Besar.” Konsorsium Pembaruan Agraria. Tersedia di: https://www.academia.edu/es/45189636/Catatan_Akhir_Tahun_KPA_2020. Diakses pada 23 Maret 2022.
14 Iman Firdaus, “YLBHI: Perampasan Lahan dan Pelanggaran Hak Masyarat Adat Terus Berulang”, Kompas TV, 29 Januari 2021. Tersedia di: https://www.kompas.tv/article/142326/ylbhi-perampasan-lahan-dan-pelanggaran-hak-masyarat-adat-terus-berulang?page=all. Diakses pada 23 Maret 2022.
15 Bambang Muryanto, “Tanah Surga’ Wadas Dijadikan Tambang: ‘Mengapa Pemerintah Menindas Petani?,” Project Multatuli [majalah daring], 24/05/2021. Tersedia di
https://projectmultatuli.org/tanah-surga-wadas-dijadikan-tambang-mengapa-pemerintah-menindas-petani/. Diakses pada 24 Maret 2022.
16 Ada banyak kolektif lain yang memiliki prinsip yang sama dengan nama yang berbeda, salah satunya adalah Ruang Bebas Uang (RBU). RBU juga tersebar di beberapa daerah di Indonesia.
17 Ayana Young, “GOPAL DAYANENI on the Exploitation of Soil and Story”, For the Wild, 7 Mei 2021. Tersedia di: https://forthewild.world/listen/gopal-dayaneni-on-the-exploitation-of-soil-and-story-232. Diakses pada 24 Maret 2022. Diterjemahkan dari Bahasa Inggris oleh penulis.
18 Modibo Kadalie, Pan-African Social Ecology. Speeches, Conversations, and Essays, (Atlanta, US: On Our Own Authority!, 2019), pp. 40.
19 Emre Sahin dan Khabat Abbas, “Communal Lifeboat: Direct Democracy in Rojava (NE Syria),” Pandemic Solidarity: Mutual Aid during the Covid-19 Crisis, disunting oleh Marina Sitrin dan Colectiva Sembrar (London: Pluto Press, 2020), pp. 3.
20 Dilar Dirik, “Building Democracy without the State,” Roar Magazine, Issue #1: Revive La Commune! (Spring 2016) [majalah daring]. Tersedia di https://roarmag.org/magazine/building-democracy-without-a-state/. Diakses pada 23 Maret 2022. Diterjemahkan dari Bahasa Inggris oleh penulis.
21 Ibid. Diterjemahkan dari Bahasa Inggris oleh penulis.
22 Ibid. Diterjemahkan dari Bahasa Inggris oleh penulis.
23 Ibid. Diterjemahkan dari Bahasa Inggris oleh penulis.
24 Internationalist Commune of Rojava, Make Rojava Green Again: Building an Ecological Society (London: Dog Section Press and Internationalist Commune of Rojava: 2018), pp. 90-91. Tersedia di: https://files.libcom.org/files/make-rojava-green-again.pdf. Diakses pada 23 Maret 2022. Diterjemahkan dari Bahasa Inggris oleh penulis.
25 Ibid, pp. 92. Diterjemahkan dari Bahasa Inggris oleh penulis.
26 Ibid, pp. 91. Diterjemahkan dari Bahasa Inggris oleh penulis.
27 Lihat posting Twitter lengkap di sini: https://twitter.com/GreenRojava/status/1330179184778489858
28 Emre Sahin dan Khabat Abbas, pp. 5-6. Diterjemahkan dari Bahasa Inggris oleh penulis.
29 Emre Sahin dan Khabat Abbas, pp. 14-15.
30 Emre Sahin dan Khabat Abbas, pp. 7. Diterjemahkan dari Bahasa Inggris oleh penulis.
31 Emre Sahin dan Khabat Abbas, pp. 4-5. Diterjemahkan dari Bahasa Inggris oleh penulis.
© 2021 penulis
Baca tulisan lain dari program ini di website kami: https://strugglesforsovereignty.net/the-world-is-our-household/writing/