Unduh di sini:
Selingkung refleksi atas pembangunan dan modernitas di Kabupaten Majalengka, Indonesia.
“Jaman sudah modern, bapak-ibu tak boleh lagi buang hajat di kali!”
Suatu hari ketika sedang melakukan rutinitas yang sangat produktif, saya mengecek laman Facebook dan mendapati sebuah unggahan yang membuat saya berhenti sejenak untuk membacanya. Seorang pegawai Dinas Sosial melaporkan kegiatan dinas misi sosialisasi WC umum di salah satu desa di Kabupaten Majalengka, tempat saya tinggal selama empat tahun belakangan. Dalam unggahan tersebut, ada kata ‘sanitasi’ dan ‘modern’ yang dilengkapi beberapa foto dokumentasi bangunan WC umum dengan standar proyek pemerintah—dilapisi semen dengan pintu plastik yang terlihat ringkih tetapi lebih cerah di samping persawahan. Unggahan tersebut juga dilengkapi dengan kalimat persuasif untuk menggunakan fasilitas WC umum tersebut dan meninggalkan kebiasaan ‘tidak bersih’ dan ‘tidak sehat’ yakni dolbon, sebutan dalam bahasa Sunda lokal untuk buang hajat di kali, sawah, atau kebun yang dianggap jauh dari kemajuan.
Meskipun berbeda kecamatan, pemandangan dolbon masih sering saya lihat sendiri. Memang tidak di semua tempat, tetapi kata seorang teman yang adalah orang lokal, dolbon merupakan hal yang lumrah di beberapa desa. Alasan melakukan dolbon beragam, seperti tak punya jamban di rumah atau memang sudah menjadi kebiasaan yang sulit dilepas. Kembali ke unggahan Facebook yang saya baca, tampaknya pemerintah daerah sedang berupaya untuk mendisiplinkan dan mengucilkan warga yang masih buang hajat sembarangan guna memenuhi poin ke-enam dari “Sustainable Development Goals” yaitu Air Bersih dan Sanitasi Layak. Dibuatnya WC-WC tersebut dapat dibaca sebagai maksud untuk menumbuhkan rasa malu masyarakat yang masih melakukan dolbon agar menjadi lebih “modern” dengan buang hajat di WC. Tapi memangnya kenapa kita harus menjadi masyarakat yang modern?
Dari kasus yang saya temui tersebut, saya meyakini bahwa ‘modern’ terus diinterpretasi oleh siapa saja yang sedang menuju pada kebaruan tertentu dalam kehidupan manusia. Ketika kata “modern”, “modernitas”, atau “modernisasi” muncul, kita sering kali mendefinisikan kata tersebut dengan mengontraskan dua hal, yakni masa lalu yang kuno dan sesuatu yang baru dan stabil (Latour, 1993). Modern selalu merujuk kepada berlalunya waktu, bahwa yang lama harus berganti dengan yang terbaru, berkaitan dengan percepatan, sehingga dapat muncul rasa takut untuk menjadi yang tertinggal. Di luar maknanya sebagai kata sifat, kita mengenali modern sebagai sebuah periode setelah abad ke-15, ketika masa pencerahan ternyata turut membawa bermacam jenis nilai di belakangnya; nilai duniawi, materialistis, cara berpikir, berperilaku, hingga cara mengekspresikan diri, dan membawa kesadaran diri tentang “kemajuan” pada manusia.
Modern berkelindan erat dengan teknologi dan selaras dengan kehidupan manusia di era modern tersebut. Teknologi yang dibayangkan adalah apa saja; mulai dari cangkul untuk menggali tanah, mesin pembajak sawah, pengeras suara di balai desa, transportasi, nuklir, sampai perangkat pintar hingga Artificial Intelligence (AI). Donna Haraway, dalam A Cyborg Manifesto-nya, menyatakan bahwa masyarakat modern adalah manusia yang dibayangkan tidak lepas dengan teknologi dan mesin. Batas antara manusia dan mesin, serta natural dan artifisial semakin samar, sehingga manusia menjadi cyborg—separuh manusia, separuh mesin. Semua benda, tak-benda, dan mesin memudahkan aktivitas hidup manusia, hingga membuat manusia bergantung dan menjadi apa yang membentuknya. Fenomena akhir abad ke-20 ini disebut posthumanism atau post-anthropocene.
Kalau fenomena ini disambungkan dengan pembangunan di sebuah wilayah, bisa dibayangkan bagaimana sebuah teknologi bangunan atau sarana jalan dan lainnya berelasi dengan manusia yang tinggal di sekitarnya. Pembangunan, yang selalu ditujukan untuk “memperbaiki” dan membuat kehidupan masyarakat lebih maju, pastilah membentuk satu, dua, atau lebih banyak respons dan perilaku atas apa yang dibangun di sana—penolakan atau penerimaan, adaptasi atau pengalihan. Tulisan ini saya maksudkan untuk membaca lebih jauh soal pembangunan dan modernitas yang terjadi di tempat saya tinggal, serta hubungannya dengan manusianya.
Simbol Modernitas Bernama “Bandara”
Empat tahun tinggal di Kabupaten Majalengka, saya sudah menyaksikan bermacam pembangunan yang datang atas nama modernitas dan kemajuan selain WC umum di kabupaten ini; jalan tol, pabrik modern yang dibangun investor asing, monumen Majalengka yang mereplika bola dunia Universal Studios yang berkelap-kelip di bundaran kabupaten, dan satu yang paling megah nan gigantik: Bandara Internasional Jawa Barat di Kertajati.
Bandara megah ini berdiri di wilayah Kertajati, salah satu kecamatan di Kabupaten Majalengka. Bandara ini diniatkan dibangun untuk mengatasi lonjakan penumpang haji dan umroh dari Bandara Husein Sastranegara di Kota Bandung. Pembangunan bandara sudah direncanakan sejak era kepemimpinan Megawati Soekarno Putri (2001—2004), tetapi karena hal-hal yang tak pernah dijelaskan, pembangunan Bandara Kertajati baru dapat terlaksana pada era Joko Widodo dan rampung pada tahun 2018 lalu.
Melihat ukuran pembangunan sebuah bandara sendiri bisa membuat kita berasumsi ini adalah proyek yang sangat besar. Ditaksir bisa menampung sebanyak lima juta penumpang, pembangunan bandara ini menghabiskan sekitar 2,6 triliun rupiah. Ia dibangun di atas lahan seluas 1.800 hektar atau bisa disamakan dengan kira-kira luas 3.600 lapangan sepak bola. Perkiraan luas dengan lapangan bola itu tentu saja hanya perumpamaan untuk memberikan bayangan lebih konkrit, karena sebelum menjadi bandara, tanah itu adalah lahan persawahan dan pemukiman warga. Penggusuran atas nama pembangunan tentu tak bisa dielakkan, khususnya bagi warga di Desa Sukamulya pada tahun 2014 sampai 2016. Perlawanan panjang dilakukan oleh solidaritas petani, tetapi akhirnya bandara tetap berdiri.
Kisah perjuangan rakyat Kertajati kian tenggelam ketika pembangunan bandara rampung dan diresmikan pada tahun 2018. Ia semakin tidak terdengar ketika muncul klaim yang dikabarkan dalam media massa bahwa Bandara Kertajati adalah bandara terbesar kedua di Indonesia. Tentu saja, adanya bandara ini cukup menghebohkan terutama bagi warga lokal. Saya ingat betul ramainya perbincangan antar tetangga di media sosial tentang bandara sepanjang pertengahan tahun 2018 hingga awal tahun 2019. Beragam unggahan dan komentar penuh harapan mencuat dari warga. Banyak diantaranya berbunyi seperti “Alhamdulillah, Majalengka punya bandara baru”. Di sisi lain, muncul juga pertikaian atas kecemburuan kabupaten sebelah yang menganggap bandara megah itu tak seharusnya terletak di Majalengka. Respons tersebut bisa diduga muncul akibat citra bandara yang melambangkan kesempatan kemajuan dan perkembangan wilayah. Berdirinya bandara menandai titik balik pembangunan yang membuat nama Kabupaten Majalengka lebih dikenal orang banyak. Sejak Bandara Kertajati berdiri, semakin banyak pula pembangunan atas nama kepentingan umum di Majalengka.
Mungkin masih teringat pula di ingatan kita bagaimana citra bandara sebagai simbol kemajuan menjadi penting hingga sempat dijadikan ilustrasi yang menghiasi uang kertas nominal Rp10.000 pada masa Orde Baru. Julukan Soeharto sebagai Bapak Pembangunan dan adanya bandara sebagai lambang modernitas dan kemajuan di helaian uang kertas tampak selaras. Dalam konteks pembangunan yang melambangkan sebuah kemajuan, Bandara Kertajati telah menjadi salah satu “mimpi pembangunan” bagi warga Majalengka karena digadang-gadang akan membuka akses ekonomi. Keberadaan bandara memberikan warga kabupaten ini harapan untuk mengejar “ketertinggalannya” dari kabupaten-kabupaten lain. Kabupaten Majalengka akhirnya bisa mendapatkan atensi dan lampu sorot.
Sebelum saya menceritakan lebih banyak tentang modernitas bandara dan efek pembangunannya terhadap warga, rasanya perlu untuk mengetahui seperti apa Majalengka pada masa sebelumnya. Dahulu Kabupaten Majalengka disebut “the big village” karena luas wilayahnya yang besar dan hampir seluruhnya adalah wilayah rural yang punya dataran rendah juga dataran tinggi sekaligus. Mata pencaharian utama orang Majalengka adalah petani; petani padi di dataran rendah dan petani bawang di daerah tinggi. Selain petani, orang Majalengka juga menjadi pembuat genteng, yang berpusat di sekitar kecamatan Jatiwangi dan mencapai masa jayanya pada tahun 1980-an. Semenjak era milenium, Majalengka mulai dijuluki sebagai kota pensiunan karena kebanyakan penduduk usia produktifnya memilih pergi mencari kerja di ibukota atau menjadi pekerja migran di negeri orang. Majalengka sempat menjadi “Lumbung TKI”, yaitu salah satu pemasok tenaga kerja migran terbesar di pulau Jawa yang mengirimkan tenaga kerja ke negara-negara seperti Arab Saudi, Malaysia, Hongkong, Jepang, Korea, Singapura, untuk bekerja sebagai pekerja rumah tangga dan pekerja di sektor informal lainnya.
Sekitar tahun 2008, Majalengka menjadi lokasi pembangunan pabrik-pabrik industri garmen asing yang tersebar di sejumlah kecamatan. Secara perlahan, wilayah ini semakin terlihat sebagai wilayah industri layaknya Karawang, Bekasi. Lanskap geografis hijaunya persawahan mulai berganti dengan nuansa abu-abu, pagar tinggi, dan padatnya jalanan saat jam-jam bubaran pabrik. Kini, mata pencaharian utama mayoritas perempuan usia produktif adalah buruh garmen. Upah rendah dan jam kerja yang tinggi tak menjadi penghalang, masa training pun mereka lewati. Hal ini karena menurut sebagian besar buruh garmen, kerja di pabrik yang menggunakan mesin berteknologi tinggi lebih bersih dan modern. Industri genteng rumahan dan bertani mulai ditinggalkan dan dianggap “kotor”.
Ketika bandara datang, para pekerja seakan melihat ada tawaran baru untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dengan lebih terjamin. Seperti punya mimpi akan pekerjaan yang lebih baik, pekerja lokal berbondong-bondong mencari kesempatan kerja di bandara jauh sebelum bandara dibuka. Seorang teman menceritakan bahwa tempat kursus bahasa Inggris yang ia kelola kebanjiran peserta ajar yang ingin mengejar syarat kemampuan bahasa untuk bisa melamar kerja di Bandara Kertajati–sebagai apa saja, asal kerja di bandara. Lahirlah sebuah imajinasi baru akan peluang ekonomi yang tercipta dari modernitas yang hadir.
Ironinya, peluang ekonomi baru yang diharapkan dari si bandara tak kunjung datang. Sampai pada hari presiden Jokowi melakukan pendaratan dengan pesawat kepresidenan sebagai tanda resminya Bandara Kertajati tanggal 24 Mei 2018 lalu, tak terlihat bahwa bandara telah siap untuk dioperasikan. Meskipun fasilitas sudah dinyatakan komplit, jumlah pesawat yang parkir dan jalur penerbangan bisa dihitung jari. Waktu itu hanya tersedia satu penerbangan dengan tujuan Surabaya dan Jakarta. Ketika saya dan beberapa teman mengunjungi bandara Kertajati beberapa minggu setelah peresmian, saya meyakini ada yang belum siap atau ada yang salah dari bandara ini. Sebulan kemudian, hanya ada beberapa penumpang. Beberapa bulan hingga setahun kemudian, bandara ini tetap sepi dan akhirnya tak ada lagi pesawat yang parkir di sana.
Banyak orang kemudian mempertanyakan mengapa bandara ini dibangun di Majalengka. Beberapa orang angkat bicara soal pembangunan bandara di Majalengka yang jelas adalah suatu kesalahan. Saya sempat membaca satu berita di BBC News (02/07/2019) yang membahas soal letak bandara yang jauh dari pusat kota, atau tiga jam perjalanan dari Bandung dengan mobil, yang berpengaruh pada sepi peminat. Seorang pengamat penerbangan dari Aviatory Indonesia, Ziva Narendra, membaca pembangunan ini terkesan sangat tergesa-gesa dan agak dipaksakan, sehingga fungsi bandara tak teroptimalkan. Namun, menurut Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Barat, permasalahan diprediksi akan “beres” ketika jalan tol Cisumdawu, yang akan menyambungkan Bandung dengan Majalengka dan membuat semuanya menjadi cepat, selesai dibangun. Tapi ini masih prediksi, ya?
Modernitas yang “Gagal” dan Respons Warga
Sehari-hari kita selalu dibayangi dengan mimpi-mimpi akan pembangunan. Tinggal di kota atau di desa, “mimpi” itu masuk dari berbagai penjuru, menawarkan imaji “kemajuan” dan “kemudahan” hingga akhirnya terbentuk di dalam pikiran. Segala macam model pembangunan muncul seakan untuk memenuhi “mimpi-mimpi” dalam bentuk-bentuk proyek pembangunan; salah satunya adalah Bandara Kertajati, yang datang atas rencana para penguasa.
Bandara Kertajati tidak berfungsi selayaknya bandara pada umumnya; ia gagal menjadi teknologi publik untuk transportasi massal karena perhitungan lokasi yang buruk serta tidak adanya kesiapan dan sinergisitas antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Akibatnya, aktivitas penerbangan sepi dan membuat bandara internasional ini tak beroperasi secara optimal hingga terancam berujung menjadi bengkel pesawat. Menurut pembacaan saya, seperti banyak proyek pembangunan lainnya, Bandara Kertajati adalah proyek pembangunan yang gagal.
Layaknya pembangunan infrastruktur lainnya, pembangunan bandara ini mungkin dibuat dengan upaya dan niat baik oleh para perencana atau “the will to improve” jika kita meminjam bahasa Tania Li, guru besar antropologi Universitas Toronto. Program-program pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pastilah sering terdengar bak slogan kemajuan. Dengan sengaja para perencana hanya mengangkat sejumlah masalah tertentu dan mengabaikan masalah lainnya, hingga akhirnya justru memunculkan persoalan-persoalan baru yang berkembang sekarang. Niatnya “atas nama rakyat dan kepentingan umum”, tetapi dalam pengerjaannya “yang penting jadi”.
Melihat kegagalan pembangunan ini, Bandara Kertajati bisa kita sebut sebagai monument of progress—pembangunan hanya sebagai tolok ukur kemajuan bagi si perencana dan penguasa yang dianggap sudah cukup menjadi bukti kerja dan bahkan prestasi yang dicapai. Alhasil, tujuan dan fungsinya tak terlalu jadi persoalan. Lalu, apa yang terjadi dengan bandara tanpa penumpang ini? Sebuah fenomena baru muncul di kalangan warga: bandara ini telah berubah fungsi menjadi lokasi piknik keluarga.



Tak butuh waktu lama bagi masyarakat untuk merespons bandara yang semakin sepi ini. Pada tahun yang sama dengan peresmian bandara, sementara bagian dalam gedung bandara semakin sepi, lapangan parkir dan pelataran bandara justru semakin ramai. Berawal dari beberapa orang yang datang ke bandara dan mengunggah foto di media sosialnya, orang-orang yang lain pun menyusul dan berbondong-bondong mengabadikan monumen megah yang kini ada di lingkungan tempat tinggalnya. Masyarakat dari kampung sebelah membawa mobil kap terbuka memboyong satu RT ke sana, sedangkan mereka yang datang dari pusat kota membawa sepeda mahalnya dengan mobil sport di hari Minggu pagi. Meskipun tak beroperasi seperti bandara dan tak dibolehkan untuk masuk ke dalam bangunan, tanpa peduli siapa saja berfoto di depannya. Toh yang penting adalah memotret bangunan megah tersebut dari pelataran.
Saya melihat kegiatan piknik dan foto di pelataran bandara terjadi begitu saja, seperti tanpa ada proses mencerna yang menghadirkan kesepakatan bersama untuk menjadikannya kebiasaan baru di hari Minggu pagi. Saya pun termasuk orang yang menjadikan rute ke bandara sebagai jalur bersepeda bersama teman-teman. Saya hanya membutuhkan sekitar 30 menit mengayuh sepeda dari tempat tinggal di Jatiwangi untuk sampai di bandara baru yang megah itu, sehingga memang cukup menyenangkan untuk ditempuh. Jika tadinya bandara adalah titik berangkat menuju suatu tujuan, di Majalengka, bandara itulah tujuannya. Saat pandemi datang, kegiatan ini malah menjadi lebih rutin untuk dilakukan, kegiatan olahraga bersepeda tidak termasuk kegiatan yang harus dibatasi oleh aturan pemerintah dengan social distancing. Orang-orang juga berasumsi, justru harus olahraga dan berjemur supaya tidak kena COVID! Olahraganya adalah jalan-jalan ke bandara seperti saya dan teman-teman saya berikut.
Bersepeda ke bandara di awal-awal pandemi bersama teman-teman. Foto oleh Ika Yuliana.
Kreativitas warga tak berhenti di situ. Muncul rute odong-odong, angkutan umum warga lokal dengan tarif terjangkau, yang dipenuhi ibu-ibu dan anak-anak yang ingin ke Bandara Kertajati. Studi wisata ke bandara yang diinisiasi oleh para guru TK dan sekolah dasar terus datang bergantian. Pemandangan gelar tikar dan botram di pelataran bandara tidak tampak asing lagi. Lonjakan pengunjung yang ingin melihat bandara dan berswafoto seperti tidak terelakkan, hingga jalan menuju bandara akhirnya lumpuh karena tumpah ruah mobil pribadi, pick-up, odong-odong, dan ratusan sepeda motor. Nampaknya, pergi ke bandara menjadi sesuatu yang diminati dan secara sadar atau tidak sadar telah membentuk rasa kepemilikan (sense of belonging) warga terhadap si bandara yang hanya bisa dinikmati bentuk bangunannya dari parkiran atau pelataran bandara.
Dari peristiwa ini, saya mulai mempertanyakan relasi warga lokal dengan modernitas yang hadir. Warga Majalengka tampak senang dan terima-terima saja dengan kehadiran pembangunan yang gagal ini; mungkin karena tak ada intervensi pembangunan yang bisa dilakukan lagi, atau memang inilah satu wujud pembangunan yang diinginkan oleh warga. Warga nampaknya punya imajinasinya sendiri soal pembangunan, dan terus menginginkan pembangunan untuk terus mencapai modernitas yang dibayangkan. Sebagaimana diungkapkan Jonathan Crush (2005), bahwa pembangunan tak pernah kehilangan daya tarik maupun popularitasnya; ia terus berlanjut, suka atau tidak suka.

Lihatlah bagaimana publik merespons simbol modernitas ini. Warga memperlakukannya sebagai ruang publik baru yang dapat dinikmati kemegahannya tanpa rasa gengsi. Entah siapa yang memulainya, tapi tampaknya respons warga muncul secara organik. Tak ada yang melarang untuk berfoto dan menggelar tikar piknik di pelataran bandara ini; tak ada pula peraturan atau jalur mobil, atau panduan untuk duduk di bandara. Saya rasa semua ini akan berbeda andai bandara tersebut berfungsi dengan normal. Bandara hanya akan diperuntukkan kepada masyarakat tertentu, yakni mereka yang mampu membeli tiket pesawat untuk pergi ke suatu tujuan. Namun, saat ini tampaknya tak ada pikiran selain untuk menikmati bandara sebagai monumen kemajuan.
Warga seperti tak begitu peduli untuk mempertanyakan mengapa bandara tidak berfungsi seperti bandara lain, apalagi untuk melakukan protes. Warga mengabadikan momen selama di pelataran monumen pembangunan tersebut dengan ponsel dan memamerkannya di media sosial masing-masing. Barangkali muncul kebanggaan di tengah warga yang mungkin tak pernah membayangkan akan hidup begitu dekat dengan bandara, meskipun mungkin tak pernah juga membayangkan akan pergi ke suatu tempat menggunakan pesawat terbang dengan frekuensi yang tinggi, kecuali untuk pergi umroh atau naik haji. Sempat ada harapan bagi sebagian warga untuk menjadi tenaga kerja di bandara, tapi pada akhirnya pupus jua karena tak ada lowongan yang kunjung dibuka untuk melayani penerbangan atau sekedar menjadi satpam dan petugas kebersihan. Akhirnya yang bisa warga lakukan bersama adalah menyambut baik datangnya bandara dan menikmati kemegahannya dengan piknik bersama.
Modernitas dan Pembangunan, Sebuah Mitos
Pembangunan, sebagaimana modernitas, memiliki relasi yang kompleks dengan masyarakat dan kebudayaan. Esteva dan Prakash (1998) mengungkapkan, pembangunan menempati pusat konstelasi semantik yang sangat kuat, dan pada saat yang sama, tidak mampu memberikan substansi dan makna pada pemikiran dan perilaku masyarakat yang mengalami pembangunan. Sachs (1992) memperlihatkan bahwa di balik diskursus pembangunan terdapat kemiskinan, kesenjangan kekayaan, dan penindasan.
Bandara, dalam niatnya, menawarkan modernitas dan teknologi untuk publik, tetapi apa yang terjadi hanyalah ketidaksiapan semua pihak dalam menghadapi sebuah ikon pembangunan yang begitu besar. Masyarakat melihatnya dalam logika yang berbeda-beda: ada yang merasa dipaksa untuk menjadi modern, ada yang sebatas menjadi penikmat modernitas. Modernitas seperti apa yang diimajinasikan oleh warga? Dan modernitas bagi siapa? Toh masyarakat sepertinya memahami bahwa jalan tol dan bandara tidak diciptakan untuk rakyat kecil dan menengah. Namun, adanya kegagalan demi kegagalan pembangunan tidak berarti masyarakat tidak menginginkan pembangunan. Kalau boleh meminjam istilah Deleuzian, manusia adalah mesin keinginan (desiring machine); manusia selalu punya kehendak untuk memiliki.
Namun, kita harus menyadari bahwa meski modernitas terus diperdebatkan dan teori atau konsep baru ditawarkan, apa yang dikritik itu tak pernah berhenti. Candu akan modernitas terus dielaborasi terutama oleh penguasa, aktor-aktor pembangunan, dan media massa. Modernisasi mendominasi jargon pembangunan yang digadang-gadang akan segera datang ke tempat-tempat yang dianggap belum modern, atau yang sering diistilahkan sebagai area 3T: Terluar, Terdepan, dan Terpencil. Proyek-proyek pembangunan seperti jalan tol, jembatan, waduk-waduk, hingga bandara, didatangkan dan menjadi imajinasi akan kemajuan yang lekat dengan jargon kebijakan pembangunan lainnya: pengurangan kemiskinan, pemberdayaan, dan partisipasi masyarakat (Cornwall & Brock, 2005). Jargon-jargon tersebut dibuat dan dipelihara oleh agensi-agensi pembangunan dan pada akhirnya bekerja layaknya mitos. Herbert Marcuse (2002), seorang filsuf yang kerap mengkritik modernitas, menangkap bahwa ada banyak permasalahan yang terjadi karena modernitas, seperti terbentuknya “jebakan-jebakan” modernitas. Karena modernitas diadopsi begitu saja tanpa dipertanyakan relevansi dan efektivitasnya, ia berakhir menjadi “mitos” belaka. Mitos modernitas membuat manusia menjadi masyarakat satu dimensi yang hanya berperan untuk menjalankan dan melanggengkan sistem yang telah berjalan, yaitu kapitalisme. Masyarakat satu dimensi hanya mengonsumsi kebutuhan palsu, serta masuk ke dalam perangkap penguasaan dan manipulasi teknologi yang terus berkesinambungan.
Akhir cerita, saya hanya bisa menduga-duga bahwa aktivitas piknik di depan Bandara Kertajati dalam dua tahun belakangan adalah bentuk respons alami warga Majalengka terhadap kegagalan pembangunan yang terjadi. Fenomena ini bisa memberikan pandangan baru untuk melihat isu pembangunan dari sudut pandang warga yang melakukan reclaim. Melalui tulisan ini, saya ingin merefleksikan relasi modernitas untuk dapat membayangkan imajinasi warga akan pembangunan sebagai sebuah bentuk kritik modernitas dan pembangunan yang terjadi di sekitar. Pada akhirnya, pembangunan atas nama modernitas harus terus dipertanyakan. Jika tidak, kita akan terus terjebak dalam mitos, layaknya modernitas yang diartikan sebatas tidak buang hajat di kali.
Tentang penulis:
Ika Yuliana (1992) lahir di Banda Aceh, menghabiskan masa kecil hingga remaja di Sumatra Utara, dan merantau ke Jakarta untuk melanjutkan studi Jurnalistik Penyiaran. Sejak 2017, berpindah ke Jatiwangi, Jawa Barat, dan bergabung dalam Jatiwangi Art Factory, menginisiasi perpustakaan alternatif Pantura, dan proyek musik bersama LAIR yang juga terinspirasi dari musik pantura dan tarling klasik. Saat ini sedang melanjutkan master di Antropologi Sosial Universitas Indonesia, dan melakukan riset terkait ketertarikan pada isu publik, kota, dan penghidupan berkelanjutan.
Referensi dan bacaan lebih lanjut:
(1) Cornwall, A., & Brock, K. (2005). What Do Buzzwords Do For Development Policy? A Critical Look At ‘Participation’, ‘Empowerment’ And ‘Poverty Reduction’. Third World Quarterly, 26(7), 1043-1060. DOI:10.1080/01436590500235603.
(2) Escobar, A. (1995). Encountering Development: The Making and Unmaking of the Third World. Princeton, New Jersey: Princeton University Press.
(3) Esteva, G., & Prakash, M.S. (1998). Beyond Development, What?. Development In Practice, 8(3), 280-296. DOI:10.1080/09614529853585.
(4) Crush, J. (2005). Power of Development. London, UK: Routledge.
(5) Gow, D.D. (2008). Countering Development: Indigenous Modernity and the Moral Imagination. Durham, North Carolina: Duke University Press.
(6) Haraway, D.J. (1991). Simians, Cyborgs, And Women: The Reinvention Of Nature. New York, USA: Routledge.
(7) Latour, B. (1993). We Have Never Been Modern. London, UK: Harvard University Press.
(8) Marcuse, H. (2002). One-Dimensional Man: Studies In The Ideology Of Advanced Industrial Society. New York, USA: Routledge.
(9) Sachs, W. (1992). The Development Dictionary: A Guide To Knowledge as Power. London, UK: Zed Books.
(10) Wijaya, C. (2019, 2 Juli). Bandara Kertajati Terbesar Kedua Tapi Jauh dari Pusat Kota: Akankah Diminati Masyarakat? BBC.Com. Diakses di https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-48822004
© 2021 penulis
Baca tulisan lain dari program ini di website kami:
https://strugglesforsovereignty.net/the-world-is-our-household/writing/