Unduh di sini:
Penerjemah: Fiky Daulay
Tulisan Irmgard Emmelhainz Tᴇɴᴛᴀɴɢ Dɪʀɪ (ʏᴀɴɢ ᴅɪᴄᴀᴘ) Wʜɪᴛᴇxɪᴄᴀɴ membahas kompleksitas dalam bekerja, berpikir, dan hidup bersolidaritas dengan masyarakat tempatan di Mexico dan populasi asli secara global, sebagai keturunan penjajah dari Eropa. Berangkat dari analisis tajam terhadap privilese di restoran papan atas di Kota Meksiko, tulisannya berubah menjadi bentuk surat untuk aktivis masyarakat tempatan Yásnaya Elena Aguilar Gil. Emmelhainz menelisik sistem privilese yang melabeli dirinya ‘Whitexican’ untuk memahami bagaimana anak-anak keturunan penjajah dan yang dijajah dapat berjuang bersama melawan praktik dan politik ekstraktif neokolonial.
Esai ini merupakan adaptasi dan terjemahan dari tulisan berbahasa Spanyol yang ditulis dan diterbitkan di situs Revista Común pada September 2021. Irmgard menerjemahkan tulisan ini ke dalam Bahasa Inggris untuk SFS, dan Fiky Daulay menerjemahkan tulisan ini ke dalam Bahasa Indonesia. Untuk teks versi Spanyol, kunjungi: https://revistacomun.com/blog/on-being-labeled-whitexican/
Adegan Primal // Kebinatangan
Dalam kewaspadaan COVID-19 tingkat tinggi, saya harus melewati sebuah pos pemeriksaan yang dipagari seorang penjaga bertubuh kekar dan berkulit coklat dan seorang pramuria montok yang mengenakan celana berkuda ketat, sepatu bot dan sebuah topi koboi, untuk mendapatkan akses ke dalam restoran yang sesak di sudut Masaryk Avenue nan elegan di Polanco, Kota Mexico. Saya menjulurkan pergelangan tangan saya sehingga pramuria tersebut dapat mengukur suhu tubuh sembari memberitahunya nama orang yang telah membuat pemesanan tempat. Pramuria tersebut menghubungi lantai atas untuk memastikan informasi yang baru saya berikan. Kemudian, sang penjaga mengawal saya ke lift di mana seorang pramuria lainnya menyambut dan menemani saya menuju meja di mana teman-teman telah menunggu saya. Mereka sudah duduk di sana selama beberapa waktu dan mengatakan bahwa mereka telah memesan dan memakan sashimi, sushi, tiram, panganan chicharron, dan bahwa mereka tidak minum lebih dari dua gelas koktail. Saya mengamati orang-orang yang duduk di meja sekitar kami. Ini hari Jumat; orang-orang terlihat santai; mereka memesan makanan, minuman, dan ngobrol. Para borjuis, oligark, whitexican,1 narcos,2 orang-orang bisnis, jurnalis dari media massa konglomerat, seorang senator, seorang CEO: sebuah sampel kelas berkuasa yang melampaui penanda rasial dan asal-usul kelas. Hari ini, tanda-tanda status tidak hanya terlihat lewat pakaian dan aksesoris seperti tas, kaos, iPhone, teman perempuan, tetapi juga lewat sikap, tubuh yang ramping dan bugar, perjalanan dengan helikopter (semakin pendek perjalanan, semakin tinggi statusnya) dan akses terhadap ruang-ruang mewah VIP. Dekorasi restoran tampak eklektik dan informal, meskipun megah dan didesain menjadi latar yang sempurna (layaknya seluruh Kota Dubai) untuk gambar-gambar IG, yang tak henti-hentinya diunggah oleh para tamu. Saya mengamati empat variasi kombinasi meja-kursi dan tumbuhan plastik yang digantung di langit-langit dan dinding menyerupai sebuah hutan tropis. Anggrek-anggrek indah beragam warna menjulur dari pot-pot anyaman yang tergantung di langit-langit. Para pramusaji lebih patuh dibandingkan tempat-tempat lain dan tidak henti-hentinya mengganti gelas kosong di manapun. Mereka mengumumkan menu spesial dari koki dengan sigap dan kami memesan sekali lagi makanan terbaru mereka, masing-masing berdasarkan campuran bahan-bahan yang tidak lazim (alpukat dan cuka balsamik), budaya (sushi dengan tulang iga), bahan-bahan dari tempat yang jauh (ikan asin Himalaya), dan teknik memasak mutakhir seperti cairan nitrogen yang digunakan pada beri-beri beku makanan pencuci mulut kami. Di sebelah meja kami, tiga tamu berdatangan: dua dari mereka adalah pasangan yang mencium dan menyentuh satu sama lain tanpa henti, mengacuhkan teman perempuan mereka yang menyibukkan dirinya sendiri dengan iPhone hingga seorang lelaki lain datang, ditemani oleh seorang anak berusia tujuh tahun yang mengenakan jas kecil dihiasi dengan sebuah dasi kupu-kupu merah. Berjam-jam telah berlalu dan anak tersebut, sebelum terbaring lelah pada sebuah tempat tidur darurat yang diakali dengan merapatkan dua kursi bersamaan, akan menghabiskan sorenya dengan mengamati ponsel bapaknya ketika para orang dewasa saling menggoda, berciuman, makan, dan mabuk-mabukan dan menawarkan anak tersebut segalanya kecuali perhatian mereka. Di meja kami, sepanjang sore, kami sudah bergantian untuk diam-diam kabur menuju layar-layar kami dan mengumpulkan endorfin lewat likes, sejenak alpa dari percakapan yang ada; kontak tatap mata sudah menjadi terlalu melelahkan. Kami tidak henti-hentinya mengamati bagaimana kemunculan para tamu di restoran berubah seiring waktu berjalan; laki-laki dan perempuan muda yang menarik mengenakan merek-merek mewah mulai berdatangan di penghujung petang. Kami mengamati dua lelaki yang lebih muda dibanding seorang lelaki lainnya di seberang meja kami. Setelah berapa lama, laki-laki yang lebih tua tersebut berdiri untuk menyapa dua perempuan muda yang diantarkan menuju meja mereka oleh salah seorang pramuria. Ia menyapa mereka dengan memeluk pinggang dan mencium pipi-pipi mereka. Para lelaki muda itu, meskipun demikian, tampak agak tidak nyaman, namun mereka tetap berdiri untuk menyapa gadis-gadis tersebut, yang mengenakan pakaian terbuka yang menampakkan operasi kosmetik mereka. Tidak seperti sang lelaki yang lebih tua, mereka tidak begitu akrab dengan gadis-gadis tersebut, dan dengan sopan, mereka menyambut kedua gadis. Sebelum mereka berbasa-basi, para laki-laki menganggukkan kepala mereka dan menunjuk kursi-kursi di sebelah mereka, mengundang gadis-gadis untuk ikut duduk. Di meja kami, kami bertukar amatan atas tetangga-tetangga sementara kami, atas banalitas yang candu; siapa yang mendapatkan vaksin di Amerika Serikat dan di mana, dengan enggan dan penuh rasa bosan, kami juga berkelakar atas deklarasi presiden pagi itu. Saya tiba-tiba merasakan ketidaknyamanan dan kekakuan tubuh saya setelah duduk berjam-jam lamanya. Ini waktunya untuk memesan Uber.
Kami bukan lagi para positivis, neoporfirist,3 anak-anak kaya, para teknokrat, para produser budaya liberal, para narcos, dan mereka yang cantik. Di Meksiko Criollo,4 pada era individualisme hedonistik absolut dan Darwinisme sosial, kuasa kini diukur melalui jumlah pengikut IG, jumlah benda bermerek mewah yang dimiliki, dan melalui akses terhadap kontrak-kontrak pemerintah melalui privilese, baik yang diwariskan atau dicuri. Kasta yang berkuasa pada era keuangan, komunikasi digital, dan globalisasi kini lebih beragam dari sebelumnya: oligark-keuangan, media massa atau hartawan lahan yasan, subkontraktor proyek-proyek negara, pemilik monopoli-monopoli neo-feodal, selebriti dan pemengaruh, produser budaya.5 Meskipun beberapa keluarga borjuis industrial bertahan hidup dengan mengubah perusahaan-perusahaan mereka menjadi monopoli transnasional, apa yang terus terjadi di Meksiko adalah siklus pergantian elit, setelah perubahan pada pemerintahan yang memberkati mereka dengan proyek-proyek sub-kontrak (dikenal sebagai bone-handout atau hibah tulang). Keberlangsungan lainnya adalah minimnya medium dan pandangan jangka panjang di balik pengkayaan diri yang cepat untuk para elit, terlepas dari nilai kemanusiaan atau lingkungan. Dunia ini, yang terus-menerus mereproduksi adegan primal atas penjarahan, dirusak menjadi sebuah imajinasi politis yang disebarkan melalui media massa dan sosial, di mana konfrontasi antara demokrasi dan fasisme populis adalah konflik politis utamanya. Konfrontasi ini menyelubungi kuasa bagi para satu persen,6 perubahan iklim dan kepunahan nyata sistem-sistem yang menopang kehidupan di planet; intensifikasi ekstraktivisme dan kembalinya para neo-feodal yang sedang terjadi. Sementara, “Mexico lain” (juga disebut dengan “masyarakat adat,” “tertinggal,” “miskin,” “Zapatista,” “Mestizo,” “korban,” “multikultural”) masih menjadi pondasi ekonomi teritori yang bercorak neo-folklore dan dihiasi dengan wacana-wacana populis, dipuja dengan distribusi uang tunai dan dengan polarisasi kelas dan ras yang disimulasikan dalam ranah publik dengan gencarnya. Utopia liberal untuk membangun sebuah tatanan demokratis baru yang lebih adil, plural, dan inklusif telah runtuh di hadapan ketidakberlanjutan model ekonomi yang menjaga dunia terbagi antara mereka yang memiliki privilese dan populasi berlebih yang mendiami zona-zona penumbalan.7 Hal tersebut mengutarakan, kuasa saat ini kekurangan kemungkinan untuk melegitimasi dirinya dengan status Criollo lama atau status Whitexican.
************
Teruntuk Yásnaya,
Sudah bertahun-tahun lamanya, aku mencarimu, mendekonstruksi diriku dari asal-usul dan sejarahku, menanti kepekaan dan kedewasaan intelektual yang layak untuk dapat memulai sebuah percakapan denganmu. Aku mohon maaf sebelumnya jika kau merasa aku sedang memujamu sebagai sebuah “suara masyarakat adat.” Aku mengutarakannya padamu karena aku menilai bahwa kondisi-kondisi ini sudah terberi oleh peristiwa-peristiwa historis saat ini sehingga kita dapat memulai sebuah percakapan dari sudut pandang simetris yang temporal dan rapuh. Kau akan memastikan jika perkiraan waktunya tepat, aku akan menyebarkan undangan ini ke luar sana, dengan kerendahan hati dan rasa syukur yang luar biasa akan kemungkinan sebuah percakapan yang hidup.
Aku merasa percakapan semacam itu juga mendesak, tetapi hanya mungkin jika, daripada berbicara dari sebuah ruang multikultural atas perbedaan, yang menjamin kemunafikan sebuah kuasa yang melegitimasi dirinya melalui sebuah wacana yang tidak akurat layaknya praktik-praktik dan politik ekstraktif neokolonial; kita berbicara dari sebuah tempat ketidakterbandingan yang dalam dari cerita-cerita dan pandangan kita. Dimulai dengan fakta bahwa kita adalah pewaris, aku yang dari penjajah dan kau yang terjajah. Dan setelah pengakuan tempat-tempat di mana sejarah dan asal-usul memposisikan kita, tampaknya perlu untuk terlebih dahulu menggarisbawahi bahwa struktur-struktur kolonial masih berlangsung, mendahului, merampas, dan menghancurkan penghuni awal dan petani Mestizos untuk merawat privilese “sukuku”.
Aku mengaku bahwa impulsku pertama kali saat awal pemberontakan Zapatista adalah mengambil ransel dan berangkat ke Chiapas untuk bertempur bersama mereka dalam solidaritas, namun rasa takut dan keraguan akan kapasitasku untuk mengutarakan solidaritas yang nyata membuatku kehilangan asa. Aku merasa seperti penipu, karena merasa tidak dapat mengesampingkan atribut diri sebagai keturunan penjajah. Aku juga merasa malu akan kompleks penyelamat kulit putih dalam diriku, karena ia tidak terpisahkan dari kemampuan gen kulturalku untuk memangsa. Aku juga merasa rentan sebagai seorang perempuan dan tidak memiliki paspor luar negeri yang dapat membuatku kebal akan kuasa negara yang represif, layaknya paspor asing yang membuat Zapa-turis lain menjadi aman.
Aku telah memikirkan pertanyaan Gayatri Spivak, “Bagaimana berbicara kepada subaltern?”, yang ia respons sebagai sebuah etika representasi diri. Tetapi aku yakin jika aku mengikuti arah pembicaraan Spivak, kita akan memasuki sebuah diskusi yang tidak berbuah apapun mengenai pentingnya konsep “subaltern” dalam konteks kita bersama. Bagi Spivak, subalternitas berada dalam sistem kasta Hindu di mana Spivak, sebagai seorang anggota kasta tertinggi, menuliskan sebuah ruang bagi representasi diri untuk berbicara dengan petani-petani yang tidak terjamah di India. Dari ruang ini, Spivak menjalankan Pares Chandra Chakravorty Memorial Literacy Project, sebuah yayasan yang menawarkan pendidikan dasar bagi anak-anak di pedesaan India melalui sekolah-sekolah di Bengal Timur, di mana Spivak sendiri mengambil tugas untuk melatih guru-guru. Namun, meskipun kita dapat berbicara tentang sistem kasta terkini di Meksiko, aku merasa tidak nyaman untuk menggunakan terma Spivak dalam konteks kita. Bagaimana menurutmu?
Tampaknya, bagiku, ada banyak hal yang lebih mendesak daripada pertanyaan apakah ‘subalternitas’ menjadi pokok dalam kemungkinan percakapan kita. Sebuah dialog di antara kita dapat terjadi pada titik temu yang sama, mengakar dalam bagasi kultural, sensibilitas, acuan sastra dan budaya, sejarah (resmi) Meksiko kita, termasuk minat kita terhadap hubungan antara “Negara-Bangsa” dan populasi asli. Tetapi hal tersebut tidaklah cukup. Untuk mulai berpikir mengenai titik temu bagi dialog kita, aku perlu mengakui dan menyatakan bahwa Negara-Bangsa adalah sebuah bentuk pemerintahan konsensual yang melanggengkan status quo Criollo yang meliputi sebuah aparatus tak terlihat yang dibangun 500 tahun lalu dan mereproduksi rasisme dan perampasan populasi asli. Aparatus ini misoginistik, gencar, dan telah menjadi cukup sinis untuk membenarkan dirinya dengan menuntut monarki Spanyol untuk meminta maaf atas kerusakan yang telah dilakukan terhadap Meksiko. Seolah, dengan kemerdekaan, pendudukan orang-orang Eropa (atau “Criollos”) kemudian ter-Mexico-nisasi dan dengan hal tersebut, wilayah-wilayah yang diduduki diserahkan kembali kepada orang-orang Eropa dan Criollo mengakhiri sejarah penindasan populasi asli. Masalahnya adalah bahwa“identitas orang Meksiko” didasarkan pada penghapusan perbedaan antara pemukim Criollos dan populasi asli yang terjajah, dan hal ini adalah alasan orang-orang Meksiko menilai diri mereka sebagai pewaris atas wilayah pra-kolonial di masa lalu dalam artian arkeologis: sebagai budaya yang dibinasakan. Meskipun demikian, sebagaimana yang kau tunjukkan dalam artikelmu di El País pada Februari tahun lalu, yang disebut-sebut sebagai “kemerdekaan” orang Meksiko bertepatan dengan mulainya pertarungan melawan keberagaman linguistik di Meksiko.8 Hal ini berarti awal “modernisasi” penutur bahasa asli, penerapan struktur-struktur hirarkis dan penciptaan institusi-institusi yang menormalisasi homogenisasi dan kekebalan akan bentuk-bentuk pedagogi yang, sebagaimana yang diajukan oleh Silvia Rivera Cusicanqui, tertanam pada tubuh dan akal sehat populasi asli melalui paksaan represif.9 Sebuah proses, yang kau, kemudian terangkan sebagai berikut: “Mestizo es decir desindigeneizado por el Estado” [“Mestizo berarti de-indigenizing oleh Negara”].10 Kini mimpi para elit-elit Meksiko mewujud dalam wacana resmi bahwa nenek moyang “orang Meksiko” (termasuk Criollos dan Mestizos) adalah populasi asli. Inilah mengapa pemerintah resmi Meksiko mengapropriasi pakaian, kebiasaan, dan adat (Bagaimana pendapatmu atas fakta bahwa walikota Kota Meksiko mempertunjukkan “tequio” atau kerja-kerja komunal pada hari Sabtu?), upacara-upacara, sejarah dan obyek-obyek kehidupan material dari populasi asli, mengubah mereka menjadi cerita rakyat dan menjadi citra resmi bangsa, menghiasi modernitas kita dan membedakannya dengan tempat lain di dunia. Tanpa ragu, warisan orang-orang asli berhenti menjadi ancaman bagi identitas yang termodernisasi oleh Negara Bangsa di satu sisi, dan di sisi lain, apropriasi terhadapnya melancarkan kelanjutan mesin perampasan, pencerabutan, dan pengalihan paksa dan mega proyek kematian. Meskipun politik kosmetik pemerintah terkini adalah repatriasi patrimoni, dan melawan apropriasi desain komunitas masyarakat adat untuk barang dagang global (oleh Zara, Isabel Marant, Yves St Laurent), “patrimoni” tidak akan pernah meraih pemilik aslinya ketika konteks-konteks aslinya telah dibinasakan. Kini patrimoni berfungsi sebagai sebuah piala bagi negara, berkontribusi pada homogenisasi asal-usul “prahispanik” sekiranya bagi identitas kolektif orang-orang Meksiko.
Untuk seluruh alasan ini, meskipun kita dapat berdialog dengan sejajar dari acuan bersama, dalam kesetaraan, posisi kita tak dapat dibandingkan dan hal ini tampaknya sangat penting bagiku untuk digarisbawahi. Sebagai titik berangkat, aku dengan segan menawarkanmu sebuah pengakuan atas tempat-tempat berbeda yang kita duduki dalam lanskap sosial dan ekonomi “negara”; asal di mana kita kemudian berpisah untuk membangun ketidakterbandingan atas posisi-posisi kita sebagai cara untuk menggambarkan hubungan yang rapuh.
Percakapan ini mungkin akan menjadi lebih jujur jika kita mengakui diri-diri kita sebagai pihak musuh dalam perjuangan. Di luar perang penaklukan yang mengakar pada Darwinisme sosial, di mana pihakku telah menang, menuju kehancurannya sendiri: supremasi kulit putih tidak terpisah dari percepatan hancurnya planet. Layaknya mengenali seorang “Israel” di Meksiko, yang dapat kupahami melalui bantuan teman-teman Palestina selama kunjungan panjangku di teritori pendudukan mereka.
Dari sudut pandang studi dekolonial, terdapat sebuah perbedaan antara kolonialisme pemukim, sebagaimana terjadi di Amerika Serikat, Argentina dan Canada, di mana populasi awal tersingkirkan, terampas, dan terkepung dalam “wilayah cadangan” ketika tanah-tanah mereka diduduki oleh keluarga-keluarga peziarah Eropa yang mengklaim kepemilikan atas tanah-tanah tersebut. Dalam hal ini, “kolonialisme pemukim” berbeda dengan kolonialisme Spanyol, yang berdasarkan mestizaje (pemerkosaan perempuan-perempuan masyarakat adat oleh laki-laki Spanyol). Dalam struktur kolonial yang merongrong, meskipun demikian, kolonialisme (sebagai globalisasi) telah bermutasi menjadi kolonialisme pemukim utamanya dalam artian bahwa populasi-populasi yang kini dinilai sebagai ekses masih saja dirampas (teritori dan commons mereka) hanya untuk melanjutkan kehidupan penduduk yang diistimewakan di zona-zona urban (kebanyakan kulit putih).
Kita hidup dalam era sejarah saat menentang rasisme, militansi akan visibilitas dan pengakuan populasi-populasi asli, menentang pelanggaran hak asasi manusia atau memberi suara bagi wadah-wadah progresif, masih jauh dari cukup. Masalahnya bersifat sistemik. Itu adalah alasan mengapa kita harus berangkat dari akar permasalahannya: penghapusan ketidakterbandingan sejarah atas orang-orang yang menjajah teritori dan populasi aslinya, dan bertanya kepada diri kita sendiri, keturunan siapakah kita? Saya rasa apa yang disebut-sebut sebagai praktik dan studi dekolonial dalam tingkat akademik dan dunia seni adalah sebuah permulaan yang baik. Dan tetapi, hal tersebut dapat mengganggu tugas-tugas saat ini: bagaimana mengubah segalanya? Keistimewaan apa yang harus kulepaskan saat ini? Dan apa yang perlu kulakukan di hadapan tugas yang begitu besar, yang jelas tidak dapat kukerjakan sendiri?
Yásnaya, aku keturunan encomenderos, para pencuri yang diberi mandat oleh raja Spanyol untuk datang ke Meksiko guna membangun kota-kota yang mengikuti model Eropa, memasukkan agama ke dalam sumsum orang-orang asli, dan mengeksploitasi mereka. Nenek moyangku datang untuk mengelola lahan-lahan yang mereka percayai hadir dengan tenaga cuma-cuma dan menggunakannya untuk melancarkan kepentingan mahkota Spanyol. Nenek moyangku adalah aristokrat yang menunjuk diri mereka sendiri melalui dokumen-dokumen yang ditandatangani raja untuk melegitimasi perampasan dan kepemilikan lahan. Nenek moyangku menyerahkan perempuan-perempuan dari keluarga mereka kepada biara-biara, membagi sedekah, berdoa berjam-jam setiap harinya, mengenakan cilices atau ikat pinggang besi melingkari kaki mereka, dengan kawat kecil terpotong menekan kulit mereka agar merasa lebih dekat dengan Tuhan, mereka menghindari tercampur dengan yang disebut-sebut “Indian” agar tidak mendapatkan keturunan yang “tidak murni” dan terlebih, mereka berusaha untuk “mempertinggi ras” mereka dengan menambahkan lebih banyak gen-gen kulit putih kepada mereka dengan mandat ganda, de-judaisasi dan peradaban. Kepercayaan mereka membenarkan pemberangusan epistemologi dan pembinasaan. Nenek moyangku dirawat, diberi makan, dihibur, dibersihkan dan dilayani oleh perempuan-perempuan masyarakat adat yang diperbudak. Bagiku selalu penting untuk menekankan paradoks mayoritas elit-elit Meksiko yang dididik dan dirawat oleh perempuan masyarakat adat yang menjadi tempat bergantung mereka, dan nantinya, ketika mereka dewasa dan mengenal sistem kasta Meksiko, mereka luar biasa membenci perempuan-perempuan tempat bergantung mereka ketika mereka anak-anak. Generasiku tumbuh di pemukiman-pemukiman yang disebut “colonias”, dibangun di atas lahan-lahan yang dijual murah atau lahan masyarakat adat yang dicuri. Pemukim terdahulu tergeser ke pinggir lahan mereka dan tinggal di pemukiman semi-urban tanpa layanan pendidikan dan kesehatan, dan dengan kemungkinan terbatas untuk hidup sebagai tukang kebun, supir, koki, pekerja binatu, tukang batu dan pekerjaan berupah rendah lainnya.
Salah satu sifat kultural masyarakat pemukim adalah memperlakukan populasi asli seolah mereka tidak ada atau dapat dibuang. Persis inilah mengapa mereka merasa sangat berhak atas suatu teritori. Kami mendoktrin diri kami dengan sebuah historiografi yang mengizinkan kami untuk meyakinkan diri bahwa kami memiliki klaim sah atas “properti” tanah yang kami curi dan kami duduki bergenerasi sebelumnya. Keangkuhan berkelanjutan dari eksploitasi kolonial dan perbudakan yang dilegitimasi oleh historiografi yang keliru ini telah memberikan jalan bagi apa yang disebut hari ini sebagai “kapitalisme rasial,” hingga “nekrokapitalisme” ekstrem. Nekrokapitalisme menyiratkan bahwa hari ini, tanah-tanah yang didiami oleh populasi asli dan petani-petani mestizo jauh lebih berharga daripada tenaga kerja murah yang dapat diperas dari tubuh-tubuh mereka. Sebuah pengejawantahan terkini dari nekrokapitalisme adalah, sebagai contoh, penyerbuan rutin lahan-lahan agrikultural di wilayah Puebla (di mana nenek moyangku memapankan diri mereka pada abad ke-17) melalui perusahaan nasional dan transnasional yang menggunakan awan-awan kimia untuk mengubah siklus hujan alami demi keuntungan panen agroindustri Driscroll’s Strawberries, Carroll Farms, Iberdrola. Perusahaan Heineken dan Audi juga beroperasi di wilayah ini; mencuri dan mencemarkan air Cuenca Libres Oriental, sementara pemanen kecil dan pemilik tanah komunal tidak diizinkan membangun sumur-sumur untuk pengairan petak-petak kebun mereka.11 Di desa Poblano Tlaxcalancingo, Junghans, sebuah perusahaan air minum botolan menguras 16.000 liter air per hari dari sumur-sumur lokal untuk dijual kepada penduduk kota. Hal yang sama berlaku bagi perusahaan Coca Cola di Ocotepec dan Cuautlancingo. Volkswagen meninggalkan pemilik lahan tanpa air di samping pabrik mobil ketika mereka menggunakan sekitar 400.000.000 liter air untuk membuat sebuah mobil.12 Ini hanyalah beberapa contoh dari keberlanjutan keangkuhan Whitexican. Terdapat ratusan contoh di sepanjang teritori ini, termasuk duka atas perang air yang dipertarungkan di dalam komunitasmu, Yásnaya, di Sand Pedro y San Pablo Ayutla di daerah Oaxaca. Perjuangan-perjuangan masa depan-masa kini saat ini: energi, air. Pertempuran-pertempuran ini tidak akan dibenarkan oleh ideologi tetapi diperjuangkan untuk martabat territorial dan akses terhadap commons. Selayaknya kasus Israel-Palestina: konflik ini masih berlangsung semata untuk bertahannya hidup para komunitas pemukim yang mendiami teritori Palestina.
Sengketa air di Negeri Puebla dan di komunitasmu berlangsung dalam konteks intensifikasi perampasan commons dan ekstraktivisme yang disebabkan oleh kebijakan ekonomi berdasarkan penjualan sumber daya di pasar global. Efek kolateralnya adalah penghancuran lingkungan termasuk jejaring natural dan komunal dari kehidupan yang menyokong kehidupan manusia. Untuk memudahkan proyek-proyek ekstraktif, sebuah pertempuran dicetuskan terhadap perempuan dan laki-laki yang membela teritori mereka yang secara keliru dikenal dengan “perang melawan narkoba.” Jelas bahwa ekstraktivisme tidak hanya sebuah kebijakan ekonomi berwajah populisme, tetapi ia juga merupakan sebuah rezim politik yang mengakar pada kekerasan seksual dan kebijakan-kebijakan yang dirancang untuk memperkuat mesin penjarahan.
Untuk alasan-alasan yang jelas, sulit sekali untuk mengurai simpul sistem privilese yang dikaburkan, yang diwariskan dari generasi sebelumnya berdasarkan normalisasi perampasan. Di dunia yang kita hidupi bersama, nama keluarga yang sama dapat terhubung kepada sebuah skema predatoris pengambilalihan komoditas melalui hutang, termasuk militansi dan kerja jujur dan aktif untuk menciptakan visibilitas proyek sejarah dan politik Marichuy (María de Jesús Patricio Martínez), kandidat presiden Majelis Masyarakat Adat Nasional 2018. Bentuk-bentuk kontradiksi ini hadir karena imajinasi sosial dan politik mendominasi warisan modernitas Eropa, yang melingkupi sebuah budaya emansipasi, Pencerahan, hak asasi manusia, kebebasan, keadilan sosial, bahkan feminisme. Artinya, kuasa budaya Eropa melingkupi sebuah mekanisme internal dari emansipasi yang menjanjikan kebebasan individual, keadilan sosial dan solidaritas. Bahkan melalui wacana-wacana seperti Marxisme dan Kiri, penalaran ala Eropa dapat meletakkan dirinya pada sebuah ruang keistimewaan, budaya, penalaran dan Pencerahan lebih dahulu daripada orang-orang lainnya di dunia, mendesak mereka untuk mengikuti langkah yang sama, menuju “kemajuan”, dan menjadi bagian dari peradaban Barat. Dalam salah satu artikelmu, Yásnaya, kau mengutarakan bahwa salah satu aspek kemajuan Eropa tersirat dalam kriminalisasi bahasa-bahasa masyarakat adat yang mulai disebut dengan “dialek-dialek”. Dan meskipun perubahan hukum telah diterapkan untuk melindungi keberagaman linguistik, sistem pendidikan nyatanya masih terpusat pada pemerintah, menegasikan otonomi populasi asli. Dalam hal ini, kuasa Eropa bekerja sebagai sebuah farmakon: sebuah racun yang datang dengan penawarnya melalui penyelubungan wajah kolonialitas yang tersembunyi, yang menjadi hasil dari rasialisasi dunia oleh orang-orang Eropa.
Aku telah mempelajari bahwa kolonialisme melampaui pendudukan sederhana atas lahan: ia adalah operasi kuasa, di mana satu kosmologi dibinasakan dan diganti oleh yang lainnya. Dalam tata cara penggantian, sekumpulan interpretasi mengenai tempat manusia di alam semesta tergusur, sehingga menghapuskan identitas, bahasa, budaya, dan secara radikal mengubah bentuk-bentuk hidup dan mata pencaharian, hubungan satu sama lain dan hubungan dengan teritori. Inilah bagaimana kolonialisme (dan turunannya, kapitalisme rasial) telah mengubah hubungan-hubungan non-Barat secara fundamental terhadap jejaring kehidupan. Dan kita semua hidup dengan konsekuensinya dalam tubuh-tubuh kita yang terbakar dan sakit. Aku juga akhirnya dapat memahami bahwa kolonialisme bukanlah sebuah peristiwa tunggal, melainkan sebuah proses konsolidasi dan praktik kuasa yang panjang dan berlanjut melalui kekerasan, paksaan, penciptaan konsensus, dan pelanggengan status quo. Ia adalah normalisasi kontrol atas reproduksi masyarakat: biologi terkait erat dengan hegemoni. Ia adalah mengapa proses yang mereproduksi tatanan kapitalis kolonial berfokus pada penaklukan dan kontrol atas tubuh-tubuh perempuan, yang menanggung bekas-bekas kekerasan kolonial. Setiap bongkah tanah yang dicuri dan tindakan perampasan dari orang-orang asli juga merupakan serangan bagi sistem pengetahuan mereka dan reproduksi sosial yang berkelindan, menghubungkan manusia-manusia dengan jejaring kehidupan, dengan sebuah teritori khusus yang memberikan mereka identitas. Perampasan diikuti oleh hukum-hukum, pendidikan, budaya dan obat-obatan baru.
Elit-elit keturunan kasta Criollo menegasikan sejarah ini dan utamanya, mereka menegasikan bahwa sejarah kolonisasi masih berlangsung karena ia melibatkan kami sebagai tonggak dominan dari sebuah poros kolonial. Industri pendidikan dan budaya adalah refleksi yang setia dengan pelupaan tersebut, topik-topik tersebut berhubungan dengan dunia mereka yang tak dapat bersuara. Itu adalah mengapa kami mengizinkan diri kami untuk membawa bendera multikulturalitas dan dekolonisasi, untuk memberi mandat kepada seorang lelaki kulit putih untuk membuat sebuah patung guna menghormati perempuan-perempuan Mazahua sebagai ganti patung Columbus,13 atau membuat proyek-proyek seni seperti bernyanyi untuk sungai-sungai, memulihkan pengetahuan-pengetahuan tradisional atau mengajukan skema-skema untuk “perkembangan berkelanjutan.” Untuk melunturkan diri kami sebagai Criollos (Mestizos) di dalam skema imperial yang menilai kami sebagai “Latinx”, untuk menjadi penjamin-penjamin penghargaan, proyek-proyek, visibilitas dan eksotisme. Karena mudah bagi kami untuk tetap terbutakan oleh kolonialitas, daripada mendengarkan atau mendukung otonomi, kami mempersilakan identitas-identitas politis untuk terikat dengan semacam moralisme yang terluka sebagai sebuah premis akan subjektivikasi politis. Kami memiliki semangat untuk merayakan komunalitas dan resiprositas sebagai utopia-utopia daripada menerima realitas kapitalisme rasial, keterlibatan kita dengan hal tersebut dan ketidakberlanjutan aspek-aspek modernitas seperti konsumsi energi dengan menghabiskan bahan bakar berbasis fosil. Pembela lahan dan pemimpin-pemimpin komunitas telah dipersekusi, dibunuh dan dihilangkan paksa berdekade-dekade lamanya, ketika kami mengacuhkan kesenonohan “revolusi budaya” yang sedang dijalankan oleh pemerintah saat ini melalui program-program ekonomi dan budaya populis, ketika kami mengacuhkan klaim-klaim sejarah populasi masyarakat adat beriringan dengan struktur kolonial dan hetero-patriarkis yang direpresentasikan oleh Proyek Kereta Maya,14 kilang-kilang baru dan lebih banyak megaproyek kematian. Kami merenung dengan sebuah campuran antara rasa kebencian dan penolakan akan simulakra identitas nasional dalam lanskap sosial yang terfragmentasi dan terpolarisasi, simulakra polisi yang dimiliterisasi dan sebuah dinding pertikaian bagi imigran-imigran Amerika, tetap berharap bahwa dinding tersebut akan dilempari sebuah “tulang”.15
Keangkuhan diskursif tetap berlanjut ketika gagasan mengenai sebuah negara yang tercipta dari “dua Meksiko” terus didorong, yang berarti bahwa “Satu Meksiko” mendiagnosa masalah dan memproduksi solusi, dan menentukan apa budayanya, sebagai cara mengapropriasi dan menentukan kebutuhan “Meksiko lainnya”.
Berangkat dari klaim tidak benar akan “Amnesia Negara” yang kau tunjukkan, Yásnaya, dalam sebuah artikel yang diterbitkan oleh El País dua tahun lalu, konon menjadi sumber kemiskinan dan keterbelakangan masyarakat adat secara umum dan orang-orang Maya secara khusus, dan berlaku sebagai sebuah pembenaran atas mega proyek kereta api Maya. Seperti yang kau tawarkan, “bukan eksklusi dari pembangunan ideal ciptaan pemerintah yang sendirinya memiskinkan mereka, tetapi proses-proses kekerasan dalam inklusi.”16 Aku rasa apa yang sistem kapitalis tentukan sebagai “kelangkaan” berujung pada sebuah gagasan keliru mengenai kemiskinan. Kemiskinan yang sejati adalah ketidakmampuan orang-orang yang terampas untuk mempraktikkan kosmologi dan pengetahuan nenek moyang mereka (hal tersebut tentu saja dapat berubah) dan melanjutkan pertalian komunal yang jalin menjalin untuk mereproduksi kehidupan. Namun, “kelangkaan” dan “keterbelakangan” tersebut adalah konsep-konsep yang dikembangkan oleh tatapan modernis kolonial yang menyiratkan, sebagaimana yang kau telah nyatakan, paksaan berkelanjutan dari proyek-proyek nasional dan sebuah ekonomi yang menguntungkan sekelompok minoritas yang diistimewakan dan kepentingan-kepentingan transnasional. Populasi asli bahkan tidak pernah dikonsultasikan apakah mereka mereka ingin atau tidak menjadi bagian dari negara Meksiko.
Dalam kenyataan terkini akan pemusnahan massal yang mengancam, sisa-sisa budaya material dari populasi asli terkandung di dalam daftar etnografis dan antropologis bersama apa yang hidup dan lahir kembali, mengembalikan sebuah citra akan budayaku (modern, Barat) sebagai sesuatu yang usang dan beracun. Berdasar pada fantasi individualisme, pada negasi terhadap ketergantungan antara manusia dan non-manusia, pada kekerasan pemangsaan, pada ilusi peradaban, pembangunan dan universalitas. Ilusi abad ini dan di masa lalu dibenarkan dengan penggunaan kekerasan dari sebuah posisi yang berkuasa untuk mendukung mitos sebuah masyarakat yang melampaui pengelompokan penanda etnis dan rasial. Ilusi juga telah berujung pada dunia yang terfragmentasi dengan ketidaksetaraan dan ketidakmungkinan untuk menciptakan dunia yang sama, sebuah masa depan bersama.
Dalam penghapusan kelanjutan keangkuhan kolonial dan berdasarkan fakta bahwa kita berbicara dengan orang-orang asli di Meksiko dan suara-suara di tempat lain dalam forum-forum multikultural yang menentang rasisme dan perampasan linguistik, aku harus menggarisbawahi bahwa gestur-gestur solidaritas dengan perjuangan mereka untuk mempertahankan teritori mereka dan commons mereka adalah sesuatu yang langka. Dalam konteks keangkuhan yang merendahkan pada perayaan suara-suara seperti milikmu, Yásnaya, yang “melampaui tekanan dan kekerasan,” menjadi sesuatu yang “baru, segar, tulus, sederhana, dan jujur secara intelektual,”17 keangkuhan akan tidak mampunya kita untuk memahami bahwa dengan ancaman penghilangan bahasa-bahasa asli, terdapatlah sebuah kekerasan kolonial bersama penghilangan dan pelupaan dunia lain dalam penginderaan dan pembuatan makna. Sebuah pembungkaman yang datang dengan un-worlding dunia-dunia atas penginderaan dan makna non-Barat.
Aku yakin bahwa kita mesti sadar akan status kita sebagai pemukim dan dari sudut pandang tersebut, mengadopsi nilai-nilai non-modern yang mengizinkan kita untuk hidup bersama dalam ketidakterbandingan sebagai lawan dari penciptaan kembali segmentasi, pelepasan, dan penghancuran. Di sini aku berpikir bahwa terma “kebangkitan” oleh Leanne Betasamosake Simpson, yang menyiratkan (dijelaskan dalam terma-terma Barat) pemetaan pemikiran kolonial yang mengandung bentuk-bentuk kehidupan masyarakat adat atau cara-cara alternatif dalam mendiami dunia; sebuah bentuk pencerahan yang merupakan perlawanan, pada saat yang sama.18 (Kau dapat menuduhku mengapropriasi banyak gagasan dari pemikir masyarakat adat di sini, namun aku merasa bahwa budayaku gagal untuk mengimajinasikan masa depan bersama). Aku membaca keteguhanmu untuk menyelamatkan bahasa komunitasmu sebagai sebuah bentuk pencerahan dan perlawanan. Sebuah usaha yang melompati epistem modern sebagai sebuah medan pengalaman koloni. Aku ingin terus berdekonstruksi dan belajar dari refleksi atas budaya dan sejarahku yang dapat menawarkanku cermin bagi budayamu. Aku bersyukur untuk dialog apapun yang dapat kita miliki di masa depan. Salam hormat.
Catatan akhir:
1 Catatan penerjemah: whitexican mengacu kepada white dan mexican, atau dengan kata lain, orang Meksiko berdarah ras Kaukasia atau kulit putih yang berasal dari keturunan Spanyol yang menjajah Meksiko di masa lalu. Ketika polarisasi politik masyarakat Meksiko bergejolak pada tahun 2018, istilah #Whitexican menjurus kepada bentuk diskursus rasial dari sifat-sifat kulit putih yang tersembunyi. Whitexican menjadi wujud rasisme terselubung dengan politik yang menegasikan bentuk politik revolusioner formal. Istilah whitexican menjadi populer sebagai acuan kepada politik relijius-konservatif, kulit putih, elit, dan kaya.
2 Catatan penerjemah: Narco adalah kata lain dari narkotika. Istilah ini juga dilekatkan kepada orang-orang yang terlibat dalam perdagangan ilegal narkotika atau kejahatan terorganisir.
3 Neoporfirist atau mereka yang mempercayai kebangkitan kebijakan Porfirio Diaz pada abad ke-19 untuk meng-Eropa-kan Meksiko dan menerapkan sebuah program pembangunan modern.
4 Criollo adalah sebuah istilah untuk menjelaskan orang-orang keturunan Eropa yang terlahir di koloni-koloni di Amerika Latin.
5 Catatan penerjemah: Selain Criollo, kedatangan bangsa Spanyol di Amerika Selatan pada abad ke-15 seketika melahirkan sistem kasta yang diukur berdasarkan banyaknya kadar darah keturunan Spanyol yang dimiliki seseorang. Kasta tertinggi, Peninsulares, mewakili orang-orang yang memiliki darah keturunan Spanyol murni. Mereka memiliki tanggung jawab untuk mengatur tanah yang dirampas di masa lalu. Di masa kini, Peninsulares memiliki posisi penting di pemerintahan, gereja atau militer. Kasta yang kedua, Criollos, adalah keturunan Spanyol yang terlahir di jajahan Spanyol. Kasta ini menjadi semacam kasta nomor dua dari keturunan murni Spaniard dan tidak mungkin untuk menjabat posisi penting di dalam kekuasaan layaknya peninsulares. Menurun ke yang lebih rendah, Mestizos adalah keturunan dari darah Spanyol dan penduduk asli Amerika. Jika ayah dari kasta ini adalah keturunan Spanyol, maka ia akan menentukan bagaimana ia hidup seperti orang keturunan Spaniard. Kemudian Mulattos, kasta yang mewakili keturunan campuran antara darah Afrika dan Spanyol. Dalam banyak hal, mereka tidak memiliki kehidupan layak sehari-hari. Dua kasta terendah lainnya adalah penduduk asli Amerika yang tersisih dari kuasa para Spaniard, dan, yang terendah, keturunan Afrika dan pada budak lainnya. Kasta terendah ini tidak memiliki kemungkinan untuk hidup atas kehendak mereka. https://www.nuestraverdad.com/post/spanish-caste-system
6 Catatan penerjemah: istilah satu persen menyeruak ketika gerakan politik ‘Occupy Movement’ bergulir sebagai politik tantangan atas neoliberalisme di Amerika Serikat dimulai pada tahun 2011. Satu persen mengekspresikan segelintir orang-orang yang menikmati kekayaan dan pendapatan di A.S. Sebagai bandingannya, 99% lainnya adalah orang-orang yang dirugikan dari ketimpangan ekonomi negara tersebut. 99% kemudian menjadi slogan pemersatu dalam gerakan ‘Occupy’.
7 Catatan penerjemah: dalam tulisan Irmgard lainnya yang berjudul ‘Decolonization as the Horizon of Political Action’, zona-zona penumbalan mengacu kepada istilah yang digagas Naomi Klein sebagai ‘Sacrifice Zone’. Gagasan ini mengacu kepada zona-zona di mana rasionalitas teknologis bekerja untuk memisahkan wilayah urban yang diistimewakan dan zona-zona yang ditumbalkan. Zona ini adalah tempat di mana sistem neoliberalisme memberi wujud akumulasi modal melalui ekstraksi yang murni. Menurut Irmgard, zona ini adalah keberlanjutan dari proses kolonial yang telah berlangsung dari 500 tahun yang lalu. https://www.e-flux.com/journal/77/76637/decolonization-as-the-horizon-of-political-action/
8 Yásnaya Elena A. Gil, “Kumä’äy. Mensajes desde un futuro multilingüe”, El País, 20 Februari 2021. Tersedia daring via: https://elpais.com/mexico/opinion/2021-02-21/kumaay-mensajes-desde-un-futuro-multilingue.html.
9 Silvia Rivera Cusicanqui, Un undo ch’ixi es posible: Ensayos desde un presente en crisis (Buenos Aires: Tinta Limón, 2019), hal. 38.
10 Yásnaya Elena A. Gil, Ää: manifiestos sobre la diversidad lingüística, disunting oleh Ana Aguilar Guevara dkk. (México: Almadía, 2020), hal. 48.
11 Gabriela Hernández, “Agricultores en Puebla protestan por bombardeo de nubes”, Proceso, 18 Agustus 2021. Tersedia daring via: https://www.proceso.com.mx/nacional/estados/2021/8/18/agricultores-en-puebla-protestan-por-bombardeo-de-nubes-270143.html
12 Arturo Contreras, “De planta de Bonafont a casa de los pueblos: comunidades toman embotelladora en Puebla,” Pie de Página, 9 Agustus 2021. Tersedia daring via: https://piedepagina.mx/de-planta-de-bonafont-a-casa-de-los-pueblos-comunidades-toman-embotelladora-en-puebla/
13 Lihat Valentina di Liscia, “In Response to Backlash, Mexico City Reverses Decision on Artist to Replace Columbus Statue,” Hyperallergic, 15 September 2021. Tersedia daring via: https://hyperallergic.com/677199/mexico-city-reverses-decision-on-artist-to-replace-columbus-statue/
14 Sally Jensen, “Mexico’s Mayan Train Suspension Divides Community,” Al Jazeera, 21 April 2021. Tersedia daring via: https://www.aljazeera.com/news/2021/4/21/tren-maya-suspension-fuels-indigenous-community-rift
15 “Dilempari sebuah tulang” dikenal sebagai sebuah praktik umum di Meksiko ketika mendapatkan komisi pemerintah, dan mendapatkan banyak uang, meraih prestise.
16 Yásnaya Elena A. Gil, “Que ningún Dios recuerde tu nombre”, El País, 10 Maret 2020. Tersedia daring via: https://elpais.com/elpais/2020/03/10/opinion/1583849731_517412.html
17 Federico Navarrete, “Prólogo,” Yásnaya Elena A. Gil, Ää: manifiestos sobre la diversidad lingüística, disunting oleh Ana Aguilar Guevara dkk. (México: Almadía, 2020), hal. iv.
18 Leanne Betasamosake Simpson with Edna Manitowabi, “Theorizing Resurgence from within Nishnaabeg Thought” dalam: Jill Doerfler, Niigaanwewidam James Sinclair, Heidi Kiiwetinepinesiik Stark (ed.), Centering Anishinaabeg Studies: Understanding the World through Stories (Michigan State University Press, 2013), hal. 279-293.
Tentang penulis:
Irmgard Emmelhainz adalah seorang penerjemah independen, penulis dan peneliti yang berbasis di Lembah Anahuac (Kota Meksiko). Karyanya tentang film, persoalan Palestina, seni, kebudayaan dan neoliberalisme telah diterjemahkan ke dalam empat belas bahasa dan telah diterbitkan di berbagai publikasi internasional. Ia telah mempresentasikannya di berbagai mimbar internasional, termasuk Harvard Graduate School of Design di Cambridge, Massachusetts (2014), March Meeting di Sharjah, the Walter Benjamin di Palestine Conference (2015), the New School and Americas Society (2016), SBC Gallery, Montreal (2016), The University of California di San Diego, ArtBo, Bogotá, School of Visual Arts, New York, Curatorial Summit (2017), University of Texas di Dallas (2018), The Munch Museum (Oslo, 2018), the Feria Internacional del Libro (Guadalajara, Mexico 2018) dan MUAC (Museo Universitario de Arte Contemporáneo, Kota Meksiko 2019), e-flux (New York (2019), Academia Portuense de Belas Artes (Porto, 2020), dan University of Texas El Paso (2020). “The Sky is Incomplete: Travel Chronicles in Palestine” diterbitkan oleh Taurus Mexico (2017), “Jean-Luc Godard’s Political Filmmaking” terbit dengan Palgrave Macmillan pada tahun 2019. “Toxic Loves, Impossible Futures: Feminist Living as Resistance” (Vanderbilt, 2022) dan “The Tyranny of Common Sense, Mexico’s Postneoliberal Conversion” (SUNY 2021) adalah dua publikasi terbarunya.
© 2021 penulis
Teks ini merupakan adaptasi dan terjemahan dari tulisan berbahasa Spanyol yang ditulis oleh penulis dan telah terdahulu diterbitkan di situs Revista Común pada September 2021. Untuk teks versi Spanyol, kunjungi: https://revistacomun.com/blog/on-being-labeled-whitexican/
Baca tulisan lain dari program ini di website kami: https://strugglesforsovereignty.net/the-world-is-our-household/writing/