The World is Our Household! ≥ Tulisan ≥ Taut-paut senyawa pengganggu dan putri duyung: Sebuah perspektif Ekologi Queer 

Taut-paut senyawa pengganggu dan putri duyung: Sebuah perspektif Ekologi Queer 

PDF

Unduh di sini:

Teks Giovanni & Firdhan

 

Kisah mula: Putri duyung dan pencemaran

Kali Brantas mengalir sepanjang 320 kilometer di Jawa Timur. Anak-anak sungainya telah menjadi saksi peradaban yang silih tumbuh, mati, dan berganti. Ia menopang kehidupan separuh populasi provinsi dan beragam ekosistem yang terhubung dengan alirannya. Pada sepanjang dekade terakhir, tingkat pencemaran dan degradasi Kali Brantas semakin tinggi dan mengundang perhatian serius akibat limbah industri dan rumah tangga yang tak terkendali, mulai dari PCB (polychlorinated biphenyl), dioksin, plastik (termasuk bisfenol-A), hingga DDT (dichloro-diphenyl-trichloroethane) (Darmawanti). Kita familiar dan terpapar oleh zat-zat ini dalam kehidupan sehari-hari melalui (hampir seluruh) interaksi kita dengan makanan, botol kemasan, obat-obatan, alat elektronik, pakaian, pestisida, deterjen, kendaraan, dan lain sebagainya.

Pada tahun 2017, sebuah aksi kampanye untuk menyampaikan kritik dan kekhawatiran atas pencemaran itu digagas oleh sekelompok aktivis pemerhati krisis air, Indowater/Ecoton,1 di salah satu situs Kali Mas (anak sungai Brantas yang melintasi Kota Surabaya). Para peneliti organisasi tersebut menuturkan bahwa zat-zat yang mencemari ekosistem sungai tergolong sebagai Senyawa Pengganggu Hormon (SPH) atau Endocrine Disrupting Chemicals (EDC). SPH mengandung hormon estrogen sintetis yang secara genetis menyebabkan mutasi pada 20-30 persen ikan tawes (Barbonymus gonionotus) jantan menjadi “spesies interseksual”. Dalam kampanye, mereka menyebut ikan-ikan mutan ini “bencong” untuk merujuk “abnormalitas” dan “penyimpangan” dari seksualitas ikan yang “alami”. Mereka juga mengklaim bahwa ikan interseks berbahaya bila dikonsumsi manusia karena dapat menyebabkan gangguan reproduksi biologis dan hambatan pertumbuhan anak. Untuk menarik perhatian media massa, para aktivis laki-laki berdandan bak putri duyung. Mereka duduk di atas perahu karet dan mengapung di air sungai yang keruh sembari memegang plang dan poster demo dengan tulisan seperti: “KEMBALIKAN KEJANTANANKU” dan “PESTISIDA DETERJEN rusak gairah BERCINTAKU” (Guntur; Supriyadi; Zahroh). Banyak pemerhati isu lingkungan menganggap kampanye itu berhasil mengkomunikasikan isu pencemaran—dan istilah-istilahnya yang terdengar asing bagi masyarakat awam—secara populer melalui cara yang jenaka (Sholikhah & Zunariyah 26; “NGAKAK! Lihat aksi ‘Ikan Bencong’ di Kalimas, Surabaya”).2

Kampanye dan publikasi penelitian anti-SPH yang menekankan kekhawatiran pada perubahan tatanan seksual semacam ini terjadi di berbagai belahan dunia. Peneliti dan aktivis pelestarian lingkungan menyerukan ancaman “feminisasi alam”, “luapan estrogen”, “runtuhnya maskulinitas” dan “penyusutan penis” yang akan berujung pada kepunahan (Hayes; Raloff; Twombly). Meskipun perlawanan mereka terhadap kuasa industri pencemar merupakan gerakan yang progresif, wacana politik seksual yang mereka angkat dapat memperkuat dominasi wacana heteronormatif dan fobia Lesbian/Gay/Biseksual/Trans*/Queer+ (LGBTQ+) yang melembaga, termasuk di Indonesia. Penggunaan jargon “ikan bencong”, misalnya, dapat memperparah stigmatisasi dan marjinalisasi terhadap transgender yang posisinya sudah rentan. Istilah transgender dan interseks yang dipertukarkan secara serampangan pun bermasalah. Tanpa menyangkal kemungkinan efek queering dari bahan pencemar, fokus berlebihan pada “pembelokan” seksual dan gender dapat mengaburkan bahaya lain, seperti kanker, diabetes, dan gangguan organ dalam (Davis; Di Chiro). 

Kampanye dan fenomena tersebut menjadi titik mula diskusi kami, dua orang yang tertarik mempelajari ekologi politik queer dan feminis, untuk membongkar (making strange/queering) apa-apa yang dianggap “alami” atau “natural”. Jangan-jangan harapan kita tentang lingkungan hidup berkelanjutan dan lestari secara tak/sadar dibangun di atas asumsi-asumsi heteronormatif nan patriarkis—yang tak lain adalah salah satu biang kerok krisis lingkungan itu sendiri (Mies)? Bagaimana kita dapat menantang dan mengkritisi kapitalisme ekstraktif tanpa mengeksklusi sesama kelompok rentan dan dengan berlandas pada solidaritas lintas batas? Untuk menjajaki pertanyaan-pertanyaan tersebut, kami melakukan pembacaan literatur dan wawancara informal semi-terstruktur secara daring dengan seorang aktivis keberagaman gender dan seksual dari Surabaya, dua aktivis transpuan yang berkegiatan di Yogyakarta dan Bandung Raya, serta peneliti Indowater/Ecoton yang mempelajari pencemaran SPH di Sungai Brantas. Proses penelusuran dan refleksi kolektif ini kemudian kami terjemahkan menjadi tulisan dan karya kolase-ilustrasi.

Gambar 1. “Mempertanyakan Narasi Kejantanan” (Firdhan Aria Wijaya, kolase manual, 2021)

 

Keintiman teori queer dan ekologi sebagai pijakan 

Queer dan alam ibarat sebuah kisah yang menceritakan alur yang selaras. Setiap kepingan cerita dari perjuangan gerakan keberagaman gender dan seksualitas serta aktivis lingkungan mengajukan seruan yang sama akan adanya ketertindasan dan ketidakadilan (Gaard 26). Fondasi kesamaan tersebut menunjukkan kelindan queer dan alam, serta membuka cara berpikir baru dalam melihat isu ekologis dan seksualitas itu sendiri. Paradigma tersebut kemudian berkembang sampai sekarang dan dikenal dengan nama Ekologi Queer (Mortimer-Sandilands & Erickson 5). 

Salah satu sumbangan penting dari peleburan pemikiran tersebut adalah kritik atas pengkotak-kotakan antara yang dipahami sebagai yang “alami” dan “tidak alami”. Dikotomi “alami” dan “tidak alami” yang melekat pada alam dan queer dibentuk oleh konteks sosial dan relasi kuasa dalam masyarakat. Adanya tuduhan mengenai ketidakalamian tubuh atau identitas dan hasrat LGBTQ+ yang berakar dari sejarah terus menjalar dan berujung pada penolakan serta terbentuknya kultur ketakutan. Pemisahan itu pun terjadi di konteks masyarakat Indonesia yang menganggap bahwa LGBTQ+ “menyimpang” dari sesuatu yang “alami”, serta beririsan dengan wacana agama dan moralitas dominan mengenai kodrat.3 Kalaupun kategori di luar heteronormativitas dianggap dekat dengan “alam”, mereka dihubungkan dengan sesuatu yang destruktif, seperti biang terjadinya bencana alam. Keberadaan LGBTQ+ yang “tidak alami” atau “melawan kodrat” dianggap dapat “mencemari” masyarakat. Hanya manusia yang mengikuti jalur heteronormativitas yang dianggap seturut “kodrat alam”. Akibatnya, konstruksi “alami” atau “tidak alami” memiliki peran yang besar dalam menentukan siapa atau mana yang “wajar” untuk dieksploitasi atau didiskriminasi. Sepanjang sejarah, upaya-upaya untuk melanggengkan heteronormativitas terus menyangkal kompleksitas yang ada di dalam manusia, non manusia, dan lebih-dari-sekadar manusia (Mortimer-Sandilands 8). Lebih lanjut, kuasa heteronormativitas akan wacana “alami” dan “tidak alami” menguak tanya: Apakah betul heteroseksualitas adalah satu-satunya yang “alami”? 

Ketidakmampuan bereproduksi sering kali menjadi alasan lain turunan penolakan terhadap LGBTQ+. Kemampuan bereproduksi secara heteroseksual dianggap sebagai tolok ukur ideal dalam hidup bermasyarakat. Melahirkan keturunan menjadi sesuatu yang esensial dan hilangnya kemampuan tersebut dapat dianggap sebagai suatu ancaman: kepunahan spesies (manusia) itu sendiri. Jelas, logika itu dilahirkan dari perspektif heteronormatif yang dilanggengkan terus-menerus untuk membentuk sebuah hierarki dalam ekosistem, termasuk tatanan sosial kita. 

Di Indonesia, pelanggengan heteronormativitas ini dapat ditelusuri sejak era kolonial. Setelah 1910, perekrutan laki-laki yang sudah menikah atau berkeluarga dianggap lebih menguntungkan perusahaan perkebunan4 (Sinaga; Stoler 31). Pengawasan moralitas juga terjadi di tahun 1930-an dengan adanya polisi-polisi kolonial yang memenjarakan orang-orang yang melakukan praktik homoseksual (Bloembergen 121-122). Selama Orde Baru, keluarga hetero (berencana) menjadi simbol keharmonisan dan kesehatan komunitas, negara, sampai lingkungan hidup (Suryakusuma). Pasca Reformasi, LGBTQ+ dipersekusi atas nama agama oleh organisasi-organisasi konservatif (yang dulu direpresi oleh Orde Baru). Keluarga, reproduksi, dan keturunan biologis heteroseksual akhirnya dianggap sebagai bentuk hubungan paling kokoh dan ideal, serta satu-satunya penanda harapan di tengah karut-marut krisis sosial-ekologis (Boellstorff; Elmhirst). Para peneliti Ekologi Queer telah menjajaki pertanyaan: Bagaimana keberagaman gender dan seksualitas menjadi bagian konstitutif dalam ekosistem (Roughgarden)? Sandilands mengingatkan bahwa hierarki berdasarkan heteronormativitas menghambat cara pandang kita dalam menerjemahkan koneksi manusia, alam, dan spesies lainnya, serta dalam melihat keberagaman gender dan seksualitas di sekitar kita (179). 

Keintiman teori queer dan alam membuka mata kami untuk mengamati lebih dalam kampanye dan fenomena yang kami diskusikan dalam tulisan ini. Asumsi “kealamian” yang dibawa oleh pemahaman yang heteronormatif dikhawatirkan akan membentuk apa yang disebut oleh peneliti keadilan ekologi, Giovanna Di Chiro, sebagai  “eko(hetero)normativitas”. Jika dibiarkan, paradigma ini dapat membuat masalah baru: gerakan lingkungan mendiskreditkan gerakan keberagaman gender dan seksual (Di Chiro 224). Dalam kasus kampanye “Ikan Bencong” Indowater/Ecoton mengenai pencemaran sungai dan interseksualitas ikan di Kali Brantas, kelompok transpuan secara tidak langsung mengalami dampaknya. 

 

Sengkarut timpang kuasa dalam kontaminasi SPH 

Ketertarikan para peneliti di berbagai belahan dunia mengenai dampak SPH dalam air berawal dari pengamatan bahwa ikan-ikan di sungai yang tercemar limbah industri dan IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) domestik menunjukkan “perubahan reproduktif”, termasuk fenomena interseksualitas, yang membentuk sel telur dan rongga ovarium dalam jaringan testis ikan jantan. Meskipun penyebab pastinya “belum diketahui” dan dampak interseksualitas dalam populasi ikan masih “ambigu”, turunnya performa reproduktif ikan-ikan jantan dianggap sebagai indikasi masalah yang harus diintervensi. Pasalnya, mutasi reproduktif itu dianggap dapat mengancam keberlanjutan populasi dan berujung pada kepunahan spesies (Servos; Hicks dkk).

Gambar 2. “Melampaui Perspektif Manusia” (Firdhan Aria Wijaya & Giovanni Dessy Austriningrum, kolase manual & gouache, 2021)

 

Dalam liputan Rappler (27 September 2016), Ecoton menyatakan bahwa konsentrasi SPH di Kali Brantas relatif lebih tinggi jika dibandingkan negara lain. Padahal 98 persen sumber air PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) Surabaya berasal dari sungai. Akibat limbah industri pengolahan plastik, tekstil, cat, obat, logam berat, dan lainnya yang beroperasi di sepanjang sungai, 20 persen ikan tawes ditengarai “sudah mengalami interseks”. “Konsentrasi yang sebanding dapat juga berdampak serupa pada manusia bila terpapar atau terkontaminasi SPH” (Tedjo). Dalam poster dan selebaran kampanye, Indowater/Ecoton juga menekankan dampak SPH pada pria dengan mengutip penelitian Levine dkk tentang adanya penurunan sperma sebanyak 59 persen di negara-negara Eropa, Amerika Utara, Australia, dan Selandia Baru. Dalam penelitian tersebut, pencemaran SPH ditengarai sebagai salah satu kemungkinan penyebabnya (di antara kemungkinan penyebab lain seperti kebiasaan merokok, diet, dan indeks berat badan). Untuk merespon masalah tersebut, Indowater/Ecoton bergerak di berbagai lini: penelitian, advokasi kebijakan pemerintah kota untuk menyusun peta jalan pemulihan Kali Brantas, pendidikan warga sekitar sungai, kampanye di media massa, dan aksi kampanye langsung. 

Peneliti Ecoton, Riska Darmawanti, berkata, “Pabrik-pabrik membuang limbah mereka tengah malam, sehingga lolos dari pengawasan dinas-dinas. IPAL domestik dan komunal hanya dirancang untuk mengurangi kekeruhan air tapi tidak bisa mengendalikan senyawa beracun, termasuk logam berat dan SPH” (wawancara, 4 Agustus 2021). Ia menuturkan bahwa pemerintah punya kewajiban memantau lingkungan sungai berdasarkan beragam peraturan soal limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun). Namun, anggaran pemantauan lingkungan di pemerintahan sangat kecil. Adanya Covid-19 membuat dana itu dipotong sebanyak 60 persen sehingga pemantauan menjadi semakin sulit—belum lagi dipotong gaji dan seremoni-seremoni. Sementara, masyarakat belum punya keterampilan memadai untuk memantau. Tekanan dari industri pencemar dan beberapa faksi di pemerintah pun membuat keadaan semakin runyam. Karena kesulitan menuntut keterbukaan data dan pemantauan rutin dari pemerintah, Ecoton pun melakukan penelitian dan pengumpulan data secara mandiri. Riska melanjutkan, 

“… Tapi ongkos pemantauan senyawa-senyawa ini mahal. Contohnya, kita pernah menguji kadar dioksin di dalam air, empat sampel harganya 20 juta, dan sampelnya harus dikirim ke Belanda. Bagi teman-teman grassroot dan NGO itu dana yang besar. […] Laboratorium pemerintah, apalagi lab DLH kota, tidak semuanya bersertifikat SNI. Pemerintah sendiri seringkali tidak berkapasitas melakukan pemantauan mandiri. Kadang mereka harus mengirim sampel ke lab swasta, itu pun dengan budget yang kecil” (wawancara, 4 Agustus 2021). 

Temuan penelitian tersebut kemudian Ecoton gunakan untuk mengkonfrontasi industri pencemar bersama dengan jejaring komunitas lingkungan di tingkat nasional maupun internasional. Jika konfrontasi dan negosiasi dengan industri tidak berhasil, jalur yang mereka tempuh adalah mempublikasikan data tersebut melalui kampanye dan media massa untuk “mempermalukan industri”, terutama mereka yang mengklaim punya label ramah lingkungan. 

“Pada tahun 2017, masalah SPH dan interseksualitas ikan ini sedang ramai juga di luar negeri. Kampanye kami sebetulnya meng-copy dan memodifikasi kegiatan komunitas-komunitas di luar negeri itu. […] Banyak penelitian di jurnal internasional susah diakses masyarakat karena harus bayar dan bahasanya susah. Banyak kasus-kasus lingkungan tidak menjadi pilihan di media massa. Makanya kami memakai kampanye yang lucu untuk menarik perhatian. Kami rasa lebih efektif lagi kalau teman-teman media mengangkat isu ini. […] Teman-teman wartawan suka yang aneh dan menarik. Dengan mengangkat “ikan bencong”, judul liputan menjadi bombastis. Harapannya membuat orang membaca. […] Meskipun akhirnya istilah itu menjadi istilah yang aku sesali karena membuat khawatir teman-teman LGBT” (wawancara, 4 Agustus 2021). 

Penuturan Riska menunjukkan silang sengkarut ketimpangan kuasa yang membentuk kampanye Ecoton: impunitas industri pencemar, pelemahan pemerintah, komodifikasi ilmu pengetahuan, kuasa media massa di era informatika, gerakan lingkungan di negara lain (khususnya di Dunia Utara), serta paradigma eko(hetero)normativitas yang menjadi kerangka dominan dalam wacana anti-SPH. Fokus pada penurunan sperma dan kejantanan juga menunjukkan bias maskulin dalam kampanye, padahal riset yang mereka acu belum dapat menemukan penyebab dan dampak pastinya. Menanggapi kampanye tersebut, Vera Cruz dari GAYa Nusantara menuturkan, 

“Kita menyayangkan penggunaan istilah mereka saja. Tidak sampai jadi masalah besar, sih. Tapi kalau bisa jangan sampai mengkambinghitamkan komunitas lain. Karena kita sama-sama memperjuangkan komunitas. Kita kelompok rentan. Kelompok (pegiat) lingkungan iya, kelompok adat iya. […] Istilahnya menjurusnya ke teman-teman waria padahal bencong-bencong juga nggak buang sampah plastik di situ” (wawancara, 2 Agustus 2021). 

 

Proses “menjadi” yang terabaikan, stigmatisasi yang tak boleh dilanggengkan

Isu pencemaran sungai menunjukkan kelindan ekosistem ekonomi, politik, dan sosial dalam membentuk “alam”. Materi plastik, PCB, DDT, dan dioksin yang diekstraksi dari dalam bumi diproses, dikonsumsi, dan terurai, menjadi bagian air, batuan, hewan, tumbuhan, dan tubuh manusia—dengan berbagai pengaruhnya. Mengimajinasikan sesuatu yang bersih dari “kontaminasi” menyesatkan kita dari pemahaman akan kesalingterhubungan proses-proses di “alam”. 

Dunia multispesies kita saat ini ditopang oleh sistem yang mengandalkan ketidaksetaraan distribusi, entah itu kesejahteraan maupun penderitaan (Haraway 230). Proses dan dampak ekologis pun terdistribusi secara tidak merata berdasarkan kelas, ras, gender, orientasi seksual, abilitas dan lain sebagainya. Jika kita menilik sejarah modern, kelompok dan ideologi yang lebih berkuasa (laki-laki/kulit putih/kelas borjuis/hetero/mampu) selalu menganggap kondisi mereka sebagai sesuatu yang “alami” dan “normal”; hasil paling baik dari “seleksi alam”. Siapa pun yang tidak memenuhi kriteria dan kualitas tersebut dianggap “berkekurangan”, “abnormal”, “tidak alami”, dan “tercemar”. Wacana tentang “alam” digunakan untuk melanggengkan heteronormativitas, untuk mengawasi seksualitas, untuk menghukum dan mengeksklusi orang-orang yang dianggap menyimpang secara seksual (Sandilands). Munculnya kepanikan akan adanya “gangguan” terhadap tatanan gender/seksual hetero dalam kasus ikan interseks juga menyingkap kuasa keluarga hetero yang menyejarah, termasuk dalam narasi pelestarian lingkungan (Davis 238). 

Akibatnya, orang-orang LGBTQ+ diperlakukan buruk dan diabaikan pendapatnya karena dipandang “melawan kodrat” dan “tidak normal”. Padahal mereka merupakan salah satu kelompok yang paling terdampak oleh sistem. Di banyak kota di Indonesia, stigmatisasi terhadap LGBTQ+ menjelma menjadi spanduk penolakan dan berbagai publikasi yang menyebut mereka sebagai penyebab bencana alam. Teh Luvhi, seorang transpuan dari Srikandi Pasundan (SP), Jawa Barat menceritakan betapa stigmatisasi terhadap LGBTQ+ mengganggu penghidupan para transpuan yang sudah susah, apalagi ekspresi gender transpuan dianggap paling mencolok. 

“Jadi kena mental teman-teman. Karena mereka melihat spanduk itu, mereka takut memperlihatkan jati diri sebenarnya. […] Kami juga banyak mengalami persekusi oleh ormas, yang sayangnya didukung oleh aparat hukum dan lingkungan sekitar, salah satunya dalam bentuk penggerebekan dan pengusiran dari tempat kos. Itu sempat terjadi di Kiaracondong dan Pasteur” (wawancara, 3 Agustus 2021). 

Kesulitan sebagian besar transpuan untuk mendapatkan akses KTP dan pekerjaan formal pun membuat mereka harus berjuang lebih keras demi memenuhi kebutuhan sehari-hari. Namun, bukan berarti mereka semata-mata “korban tak berdaya”. Organisasi dan komunitas seperti Kebaya dan Srikandi Pasundan hanya sedikit contoh jejaring dukungan (care) yang dijalin kawan-kawan transpuan untuk bertahan di tengah sistem yang tak adil. “Jika ada penggerebekan, persekusi, atau permasalahan lain di satu daerah, maka teman-teman di daerah lain akan membantu, bersolidaritas, sekaligus mengantisipasi,” tutur Teh Luvhi (wawancara, 3 Agustus 2021). Di dalam komunitas dan jejaring, pembentukan pengetahuan dan narasi bersama dapat tercipta untuk mengubah paradigma dominan yang menyesatkan. Mami Vinolia dari Kebaya berpendapat dengan tegas namun santai, 

“(Saya) pernah dengar soal anggapan bahwa LGBTQ adalah gangguan alam, penyebab bencana alam. […] Menurut Mami, media sosial berpengaruh dalam kehidupan kita, terutama untuk transpuan. Awak media ada yang berpihak, ada yang tidak. Dengan pengetahuan yang cetek, mereka tidak kulonuwun dulu dengan kami kawan-kawan waria. Padahal itu membuat teman-teman waria tidak nyaman atau merasa tersudutkan. […] (Kami) dianggapnya biang bencana alam. Dia nggak suka, dia nggak mau belajar, dan akhirnya membuat opini yang, maaf, sangat kurang ajar. […] Kalau merasa pintar, cari tahu dong, kenapa orang menjadi atau berproses sebagai waria” (wawancara, 4 Agustus 2021). 

Pernyataan Mami Vinolia mengemukakan konsep penting dalam Ekologi Queer, bahwa tubuh, seksualitas, dan gender mesti dipahami sebagai proses “menjadi” dan pengalaman yang dinamis, bukan sesuatu yang kaku, linear, ataupun statis (Ah-King & Hayward). Diskusi dan kerja sama yang setara antarkomunitas dan profesi perlu diperbanyak untuk membangun narasi inklusif yang dapat mengoreksi kesalahan sistem—bukannya makin melanggengkan ketidakadilan. Oleh sebab itu, bahkan jika pembelokan gender dan seksual terjadi karena pencemaran lingkungan, stigmatisasi terhadap queer tetap tak dapat dibenarkan. Perspektif, pengalaman, dan siasat komunitas queer justru berkontribusi penting dalam pembentukan koalisi untuk keadilan sosial dan lingkungan. Isu pencemaran dan ekologi queer memaksa kita berpikir ulang secara kritis tentang kerapuhan dan ketangguhan tubuh kita, untuk mengkonfrontasi realita dan mempertanyakan relasi kuasa seperti apa yang membentuknya. “Kontaminasi” tidak lantas membuat (pendapat) seseorang invalid (Davis). 

 

Memikirkan ulang arah gerakan keadilan lingkungan 

Krisis ekologis yang menerpa kita sangatlah kompleks. Gerakan lingkungan masih terfragmentasi. Sebagian besar masih gelisah untuk menyelamatkan sekadar imajinasi dan fantasi akan “kemurnian alam”. Gerakan lingkungan dengan begitu perlu keluar dan merengkuh perspektif Ekologi Queer untuk memperjuangkan manusia, non manusia, dan lebih-dari-sekadar manusia yang bertaut dengan alam, serta melepaskan diri dari nuansa kategori “alami” atau “tidak alami”. Dengan begitu, inklusivitas dan rasa keadilan ekologis dapat dinikmati oleh siapapun tanpa memandang latar belakang karena alam ini merupakan rumah bagi kita semua.

Gambar 3. “Counter-planning from the kitchen-garden” (Giovanni Dessy Austriningrum, cat air dan gouache di atas kertas, 2021)

 

Kampanye yang dilontarkan oleh Indowater/Ecoton menjadi pemantik refleksi bersama bahwa kepekaan, rasa saling memiliki, dan ketersilangan isu menjadi penting. Alih-alih menebarkan ide yang secara negatif mengasosiasikan transgender dengan “pencemaran” sungai, aktivis lingkungan perlu memikirkan ulang strategi untuk mengkomunikasikan isu mengenai suatu krisis ekologi. Cara jenaka terkadang efektif, tetapi jika cara itu melukai satu kelompok, maka perlu ada alternatif lain. Pembentukan solidaritas dengan komunitas lain yang berlainan isu menjadi penting untuk membuka ruang keterhubungan antarkomunitas. Ruang kosong yang sebetulnya berkelindan dapat diisi satu sama lain. Sebagai ilustrasi, komunitas LGBTQ+ bisa mengajarkan konsep keberagaman gender dan seksualitas, serta memberikan gambaran tentang upaya menantang tekanan dan diskriminasi yang mereka terima. Sebaliknya, teman-teman aktivis lingkungan bisa menjelaskan pencemaran yang terjadi di Kali Brantas dan pentingnya air sungai tersebut bagi kehidupan masyarakat, termasuk komunitas LGBTQ+. 

Saat pandemi Covid-19 melanda, teman-teman LGBTQ+, khususnya kelompok transpuan di Indonesia mulai memikirkan cara keluar dari krisis dengan mendekatkan diri dengan isu-isu lingkungan. Sebagaimana yang disampaikan oleh Teh Luvhi bahwa, 

“ … Pada saat pandemi muncul, teman-teman kesulitan dalam mencari nafkah. Kami perkuat teman-teman (waktu itu hanya lima transpuan saja) dengan mencoba menanam sayuran yang gampang-gampang kaya pakcoy, kangkung, dan taoge. Ada juga yang melakukan budidaya ikan lele di ember (budidanber). […] Setelah itu, kami mulai untuk mengajak teman-teman lain di Bandung Raya. […] Dan ternyata teman-teman banyak yang berminat. Ada yang menanam di dalam kost-nya masing-masing dan ada juga yang menanam di halaman kecilnya. Sampai hari ini masih berjalan dan yang mengikuti bertambah menjadi 20 transpuan” (wawancara, 3 Agustus 2021). 

Cara tersebut merupakan upaya untuk menjalin simpul-simpul ketahanan pangan. Ia pun menambahkan bahwa dapur umum sempat terbentuk di daerah Caringin meski hanya bertahan hingga awal tahun ini. Dengan integrasi mereka dengan isu-isu lingkungan, jejaring dukungan, kepedulian, dan pengakuan pada kelompok transpuan menuai secercah harapan. 

Oleh sebab itu, pertemuan dan jejaring antarkomunitas perlu diperluas. Perlintasan isu menjadikan komunitas bergerak tidak sendiri-sendiri tetapi berdampingan untuk melawan ketertindasan—bukannya menambah beban menjadi lebih berat. Solidaritas bisa menciptakan sesuatu yang luar biasa demi perubahan tatanan kehidupan, sekaligus menjaga rumah kita bersama agar bebas dari gagasan eko(hetero)normativitas. 

Marx pernah menulis bahwa manusia membuat sejarah, tapi tidak dalam kondisi yang kita pilih. Di bawah dominasi kapitalisme ekstraktif, imperialisme, supremasi kulit putih, dan hetero-patriarki, kita semua adalah mutan; subjek-subjek yang tercemar dan terkontaminasi oleh limbah anorganik, virus, darah dan keringat sesama pekerja, serta mitos sosial-politik beracun. Dari reruntuhan rumah, pabrik, dan lab, dari dasar sungai yang keruh itulah, kita membangun sejarah dunia baru (Haraway; Lewis).

 

Catatan Akhir: 

1 Indowater merupakan konsorsium beberapa komunitas pemerhati ekosistem sungai yang ada di Bali, Bogor, dan Surabaya. Sementara itu, Ecoton merupakan organisasi penelitian yang menjadi anggotanya. 

2 Orasi dengan narasi serupa masih diulang hingga dan diliput dalam dokumenter “3 Ekspedisi Sungai: #01 Revolusi Popok” yang dirilis pada akhir 2021 (Watchdoc Image menit 14.16)

3 Kodrat mengatur hampir seluruh wacana gender dan seksualitas di Indonesia. Adriany berpendapat sulit menentang kodrat karena tidak berdiri sendiri tetapi melekat pada wacana agama (5). Konsekuensinya, kodrat melanggengkan hanya identitas cisgender dan heteroseksual  yang dikategorikan sebagai alamiah. 

4 Melalui pendekatan “pembentukan keluarga”, perkebunan mendapatkan akses terhadap buruh perempuan secara gratis (baik untuk kerja-kerja perkebunan maupun reproduksi sosial rumah tangga) dengan mengeksploitasi norma gender hetero-patriarki.

 

Referensi: 

(1) Adriany, Vina. “Being a princess: young children’s negotiation of femininities in a Kindergarten classroom in Indonesia.” Gender and Education, vol. 31, no. 6, 2018, hlm. 724-741. 

(2) Ah-King, Malin, dan Eva Hayward. Toxic Sexes: Perverting Pollution and Queering Hormone Disruption. 20 March 2019. Technosphere Magazine, https://technosphere-magazine.hkw.de/p/Toxic-Sexes-Perverting-Pollution-and-Queering-Hormone-Disruption-w19PngN1pNwssGrnNm7hmy. Diakses 24 Agustus 2021. Majalah Online. 

(3) Bloembergen, Marieke. “Being clean is being strong Policing cleanliness and gay vices in the Netherlands Indies in the 1930s.” Cleanliness and Culture, disunting oleh Kees van Dijk and Jean Gelman Taylor, Brill, 2011, hlm. 117–145. 

(4) Boellstorff, Tom. The Gay Archipelago: Sexuality and Nation in Indonesia. Princeton, NJ, Princeton University Press, 2005. 

(5) Darmawanti, Riska. “Pencemaran Kali Brantas mengevaluasi kasus pencemaran dari media massa dan riset pada 5 tahun terakhir.” Ecoton (Ecological Observation and Wetlands Conservation), Ecoton, 23 April 2019, https://ecoton.or.id/en/2019/04/23/pencemaran-kali-brantas/. Diakses 23 Agustus 2021. 

(6) Davis, Heather. “Toxic Progeny: The Plastisphere and Other Queer Futures.” philoSOPHIA, vol. 5, no. 2, 2015, hlm. 231-50. Diakses 24 Agustus 2021. 

(7) Diamanti-Kandarakis, Evanthia, dkk. “Endocrine-disrupting chemicals: An endocrine society scientific statement.” Endocrine Reviews, vol. 30, no. 4, 2009, hlm. 293–342. 

(8) Di Chiro, Giovanna. “Polluted Politics? Confronting Toxic Discourse, Sex Panic, and Eco-Normativity.” Queer Ecologies: Sex, Nature, Politics, Desire, disunting oleh Catriona Mortimer-Sandilands and Bruce Erickson, Bloomington, 2010, hlm. 199-230. 

(9) Elmhirst, Rebecca. “Migrant pathways to resource access in Lampung’s political forest: Gender, citizenship and creative conjugality.” The Earthscan Reader on Gender and Forest, disunting oleh Carol J. Pierce Colfer, dkk., Routledge, 2017, hlm. 234-58. 

(10) Gaard, Greta. “Toward a Queer Ecofeminism.” New Perspectives on Environmental Justice, disunting oleh Rachel Stein, Rutgers University Press, 2004. 

(11) Guntur, Yovinus. “Limbah dan ‘Ikan Bencong’ di Kali Surabaya.” Berita Benar [Surabaya], 26 Mei 2017, https://www.benarnews.org/indonesian/berita/ikan-bencong-kali-surabaya-05262017165127.html. Diakses 24 Agustus 2021. 

(12) Haraway, Donna. “Anthropocene, capitalocene, chthulucene: Donna Haraway in conversation with Martha Kenney.” Art in the Anthropocene: Encounters among aesthetics, politics, environments and epistemologies, 2015, hlm. 255-269. https://edisciplinas.usp.br/pluginfile.php/4197149/mod_resource/content/0/HARAWAY_interview_Anthropocene_capitalocene_chthulhucene.pdf. Diakses 24 Agustus 2021. 

(13) Haraway, Donna J. “A Cyborg Manifesto: Science, Technology, and Socialist-Feminism in the Late Twentieth Century.” Simians, Cyborgs, and Women: The Reinvention of Nature, Routledge, 1991, hlm. 149-82. 

(14) Hayes, Tyrone. “Hermaphroditic, Demasculinized Frogs Following Exposure to the Herbicide, Atrazine, at Ecologically Relevant Doses.” Proceedings of the National Academy of Sciences, vol. 99, no. 8, 2002, hlm. 5476-80. 

(15) Hicks, Keegan A., dkk. “Reduction of Intersex in a Wild Fish Population in Response to Major Municipal Wastewater Treatment Plant Upgrades.” Environmental Science and Technology, vol. 51, no. 3, 2017, hlm. 1811-19. https://pubs.acs.org/doi/pdf/10.1021/acs.est.6b05370. Diakses pada 24 Agustus 2021. 

(16) Levine, Hagai, dkk. “Temporal trends in sperm count: a systematic review and meta-regression analysis.” Human Reproduction Update, vol. 23, no. 6, 2017, hlm. 646-59. https://academic.oup.com/humupd/article/23/6/646/4035689. Diakses pada 24 Agustus 2021. 

(17) Lewis, Sophie. Cthulhu plays no role for me. 8 May 2017. Viewpoint Magazine, https://viewpointmag.com/2017/05/08/cthulhu-plays-no-role-for-me/. Diakses 24 Agustus 2021. Majalah Online. 

(18) Marx, Karl. The Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte. New York, Die Revolution, 1852. Marxist.org, https://www.marxists.org/archive/marx/works/1852/18th-brumaire/ch01.htm. Diakses 24 Agustus 2021. 

(19) Mies, Maria. Patriarchy and Accumulation on A World Scale: Women in the International Division of Labour. Sixth ed., London, Palgrave Macmillan, 1998. 

(20) Mortimer-Sandilands, Catriona. “Unnatural Passions?: Notes Toward a Queer Ecology.” Invisible Culture, no. 9, 2005. 

(21) Mortimer-Sandilands, Catriona, and Bruce Erickson. “Introduction: A Genealogy of Queer Ecologies.” Queer Ecologies: Sex, Nature, Politics, Desire, disunting oleh Catriona Mortimer-Sandilands and Bruce Erickson, Indiana University Press, 2010. 

(22) “NGAKAK! Lihat aksi ‘Ikan Bencong’ di Kalimas, Surabaya.” Dibuat oleh Ahmad Zaimul Haq, Surya TV, 8 Maret 2017. YouTube, https://www.youtube.com/watch?v=-Dsr3_tKcQE. Diakses 24 Agustus 2021. 

(23) Raloff, Janet. “The Gender Benders: Are Environmental “Hormones” Emasculating Wildlife?” Science News, vol. 145, no. 2, 1994, hlm. 24-27. 

(24) Roughgarden, Joan. Evolution’s Rainbow: Diversity, Gender, and Sexuality in Nature and People. University of California Press, 2004. 

(25) Sandilands, Catriona. “Desiring Nature, Queering Ethics: Adventures in Erotogenic Environments.” Environmental Ethics, vol. 23, no. 2, 2001, hlm. 169-188. 

(26) Sandilands, Catriona. “Queer Ecology.” Keywords for Environmental Studies, disunting oleh Joni Adamson, dkk., NYU Press. Keywords, https://keywords.nyupress.org/environmental-studies/essay/queer-ecology/. Diakses 24 Agustus 2021. 

(27) Servos, Mark. “Rapid response of fish to infrastructure upgrades to municipal wastewater treatment plants.” Water Research, no. 1. Water Institute Research, https://uwaterloo.ca/water-institute-research/issue-1/feature/rapid-response-fish-infrastructure-upgrades-municipal. Diakses 24 Agustus 2021. 

(28) Sholikhah, Miatus, and Siti Zunariyah. “Gerakan Ecoton dalam Upaya Pemulihan Sungai Brantas.” Journal of Development and Social Change, vol. 2, no. 1, 2019, hlm. 20-29. https://jurnal.uns.ac.id/jodasc/article/view/41653. Diakses 24 Agustus 2021. 

(29) Sinaga, Hariati. “Buruh Siluman: The Making and Maintaining of Cheap and Disciplined Labour on Oil Palm Plantations in Indonesia.” Bioeconomy and Global Inequalities: Socio-Ecological Perspectives on Biomass Sourcing and Production, disunting oleh Maria Backhouse, dkk, Palgrave Macmillan, 2021, hlm. 175-193, https://link.springer.com/chapter/10.1007%2F978-3-030-68944-5_9. Diakses 24 Agustus 2021. 

(30) Stoler, Ann. Carnal Knowledge and Imperial Power: Race and the Intimate in Colonial Rule. Los Angeles, University of California Press, 2010. 

(31) Supriyadi. “Kali Surabaya Tercemar, Ikan Tawes Jadi Banci.” Indeksberita.com [Surabaya], 28 September 2016, http://www.indeksberita.com/kali-surabaya-tercemar-ikan-tawes-jadi-banci/. Diakses 24 Agustus 2021. 

(32) Suryakusuma, Julia. “The state and sexuality in New Order Indonesia.” Fantasizing the Feminine in Indonesia, disunting oleh Laurie Sears, Duke University Press, 1996, hlm. 92-119. 

(33) Tedjo, Amir. “Pencemaran Kali Surabaya mengubah ikan tawes jadi interseks.” Rappler [Surabaya], 27 September 2016, https://www.rappler.com/world/pencemaran-kali-surabaya-mengubah-ikan-tawes-menjadi-banci. Diakses 24 Agustus 2021. 

(34) Twombly, Renee. “Assault on the Male.” Environmental Health Perspectives, vol. 103, no. 9, 1995, hlm. 802. 

(35) Zahroh, Fatimatuz. “Heboh Temuan Ikan Banci di Surabaya, Ini Penyebab dan Bahayanya.” Tribunnews [Surabaya], 8 Maret 2017, https://www.tribunnews.com/regional/2017/03/08/heboh-temuan-ikan-banci-di-surabaya-ini-penyebab-dan-bahayanya . Diakses 24 Agustus 2021. 

 

© 2021 penulis 

 

Baca tulisan lain dari program ini di website kami: https://strugglesforsovereignty.net/the-world-is-our-household/writing/